Semilir angin malam berhembus pelan di halaman Sekolah Tinggi Pastoral St. Petrus Keuskupan Atambua. Langit tampak tenang, dan di bawah naungan gelap yang lembut, cahaya-cahaya kecil mulai menyala. Satu per satu mahasiswa yang tidak pulang rumah, menyalakan lilin, meletakkannya dengan hati-hati di atas tanah yang dingin. Dalam diam, mereka berdoa bagi arwah keluarga yang telah lebih dahulu berpulang, bagi ayah dan ibu, bagi sahabat yang kini beristirahat dalam keabadian. Tidak ada suara yang mendominasi malam itu selain bisikan doa dan nyala lilin yang bergetar tertiup angin.
Bagi umat Katolik, cahaya lilin bukan sekadar penerang malam, tetapi simbol Kristus yang adalah Terang Dunia, Terang yang menembus kegelapan, membawa harapan bagi jiwa-jiwa yang menantikan keselamatan. Lilin menjadi lambang iman yang menyala, tanda pengorbanan, kemurnian, dan kasih yang tak padam. Dalam setiap upacara Gereja, dari Misa hingga doa pribadi, lilin selalu berbicara dalam bahasa simbol yakni bahasa tentang hidup yang diberikan, dan terang yang tidak pernah padam meski lilinnya perlahan habis terbakar.
Malam itu, di halaman rektorat yang sepi, nyala-nyala kecil itu seolah memantulkan kisah batin setiap mahasiswa yang hadir. Ada yang menatap hening, ada yang menunduk dalam kenangan. Di balik cahaya lilin itu tersimpan doa yang tak diucapkan, harapan yang terbingkai air mata, dan rindu yang hanya bisa disampaikan lewat nyala api yang menari lembut. Lilin menjadi bahasa duka yang suci, bahasa kasih yang terus mencari mereka yang telah kembali ke rumah Bapa.
Kitab 2 Makabe 12:39–45 mengisahkan Yudas Makabe yang mempersembahkan kurban dan doa bagi para prajurit yang telah gugur. Ia percaya bahwa mendoakan orang mati adalah perbuatan kudus dan penuh kasih, agar mereka dibebaskan dari dosa. Malam doa di halaman STP itu seperti menggemakan iman yang sama, doa yang naik bersama asap lilin, kurban kecil yang dihidupi dalam kesetiaan, dan keyakinan bahwa kasih Tuhan menembus batas kematian.
Di tengah halaman itu, tersusun batu berbentuk salib, tanda pengharapan yang abadi. Di sekelilingnya lilin-lilin diletakkan rapi. Salib, simbol utama iman Katolik, mengingatkan pada penderitaan dan kebangkitan Kristus, pada kasih yang mengalahkan maut. Mahasiswa menundukkan kepala di hadapan salib itu, dalam hening. Di sanalah, doa untuk para arwah menjadi doa untuk diri sendiri, agar mampu memikul salib dengan kasih, seperti Kristus yang lebih dahulu menyerahkan diri bagi dunia.
Tak jauh dari sana, tampak pula simbol kunci besar, simbol St. Petrus, pelindung lembaga ini, penerus Kristus yang menerima kunci Kerajaan Surga. Di sekelilingnya, lilin-lilin juga menyala, seolah mengelilingi pintu menuju kehidupan kekal. Para mahasiswa menyalakan lilin di sekitar kunci itu sebagai tanda permohonan, semoga jiwa-jiwa yang didoakan diterima dalam damai Tuhan, melintasi ambang kehidupan menuju cahaya abadi.
Doa Salam Maria pun mengalun, pelan tapi penuh perasaan. Lima peristiwa mulia didaraskan satu per satu, diiringi detak hati dan desir angin yang berbaur dengan suara malam. Doa itu naik seperti harum dupa, membawa serta nama-nama yang dirindukan, jiwa-jiwa yang kini hidup dalam keabadian. Bagi mahasiswa STP St. Petrus, malam doa itu merupakan perjumpaan spiritual dengan misteri kehidupan yang abadi. Cahaya lilin itu menjadi tanda bahwa kasih Tuhan tetap menyala, bahkan di tengah malam yang paling gelap. (FD)
Tag
Berita Terkait
Tag
Arsip
Kue Pelangi Menakjubkan Terbaik
Final Piala Dunia 2022
Berita Populer & Terbaru
Jajak Pendapat Online