• Hari ini: June 23, 2025

DIAKON ENGEL: TANGAN DI ATAS KEPALA MAMA

23 June, 2025
2958

DIAKON ENGEL: TANGAN DI ATAS KEPALA MAMA   

Diakon Engelbertus Nahak, Pr, ijinkan saya menuliskan isi hati ini untukmu tentang situasimu saat ini. Maafkan saya, bila tulisan ini tidak berkenan. Kita tinggal serumah di Pastoran Naesleu, ijinkan saya menulis isi hati ini. Keluarga besar Pastoran Naesleu, umat Paroki Santo Yohanes Pemandi Naesleu dan umat Keuskupan Atambua, sedang ada bersamamu dalam duka mendalam, karena peristiwa dipanggilnya kembali ke hadapan Tuhan, mamamu, Regelinda Hoar, menjelang hari istimewamu, penerimaan Sakramen Imamat besok, Kamis, 30 November 2023.

    Saya sedang ada di kamar makan kita dan baru selesai makan malam. Frater sedang berada di depan kamar makan, duduk bersama beberapa anak asrama. Informasi dari Group WhatsApp OMK Paroki Naesleu, ada fotomu berkasula merah. Saya tahu, foto ini untuk tahbisan imammu besok. Tertulis di bawahnya: RD. ENGEL NAHAK. Namun ada keterangan selanjutnya: Cobaan sangat berat, diakon Engel. Besok mau ditahbiskan menjadi imam, mamanya celaka langsung meninggal di tempat. Jenasah almarhumah saat ini di RSUD Atambua.

    Bagai disambar petir malam ini. Kaget, tidak percaya dan perasaan lainnya bermunculan seketika, tercampur aduk menjadi satu dalam kesendirianku di kamar makan. Sementara itu, saya mendengar suara frater dari luar kamar makan secara spontan mengatakan, aduhhh.

    Kaget dan tak percaya, saya tinggalkan kamar makan seketika itu juga untuk bertemu dengan frater di luar kamar makan. Frater menanyaiku, sebaliknya saya menanyai frater. Ternyata kami menerima informasi yang sama dari Group OMK Paroki Naesleu. Frater bertanya, saya pun bertanya, dan pertanyaan tetap menjadi pertanyaan karena belum mendapat kepastian informasi duka ini.

    Ketika sedang bertanya sambil duduk dalam keheningan, datanglah Pastor Paroki Naesleu, Rm Gabriel Alos, Pr yang baru pulang dari tempat misa arwah sambil mengendarai motor dengan tas di belakangnya. Motor diparkir tepat di depan kamar makan. Masih di atas motor, saya menginformasikan kepada beliau: Mama dari diakon Engel, meninggal dunia. Reaksi spontan dari Pastor Paroki pun muncul seketika: Hae, betulkah? Meninggal kapan? Besok anaknya akan ditahbis, nanti bagaimana? Meninggalnya bagaimana? Semua pertanyaan ini pun tidak bisa saya jawab, karena saya dan frater masih terbatas informasinya. 

    Di depan kamar makan kita, kami dirundung duka. Rasa sedih, kasian dan merasa berduka bersama diakon. Suasana kami tidak seperti biasanya. Kami bertanya-tanya, mengapa semuanya ini terjadi? Kami berduka bersamamu, kita tinggal satu rumah. Karena ingin mengetahui secara pasti informasi duka ini, saya menelpon Rm Ema Siki, Pr di Emaus Pastoral Center. Beliau menjawabku: Benar, mamanya diakon sudah meninggal. Kami mengheningkan cipta, diakon. Kami sedih bersamamu.

    SMS, chat WA datang dari berbagai umat kita di sini. Ada yang langsung menelpon pastor paroki untuk menanyakan kebenaran informasi duka itu. Saya pun ditanya demikian lewat WA dan telp. Kami memberi jawaban dan memastikan kepada umat kita di sini, benar informasi itu.

    Kami bercerita seadanya. Pastor Paroki mengatakan, mungkin ini jalan Tuhan. Jalan Tuhan ini sulit kita prediksi. Jalan Tuhan ini penuh misteri, kita tidak sanggup untuk mengetahuinya. Ini pukulan yang dasyat untuk diakon kita. Suasana batin diakon pasti sangat dilematis, antara mama meninggal dan tahbisan imam besok. Sulit untuk membuat keputusan yang tegas dan kuat. Semoga diakon kita kuat menghadapi semua ini. Kami mengheningkan cipta lagi. Kami bersamamu diakon.

    Diakon, hari ini, pastor paroki menugaskan Ori untuk menghubungi bus yang akan digunakan oleh umat kita ke Emaus di hari tahbisanmu besok. Ori pun sudah melaksanakan tugasnya itu. Dari kampus pun, saya mengecek Ori tentang kepastian bus yang akan akan digunakan besok. Ori katakan, bus sudah siap, kita akan berangkat ke Emaus, besok tepat jam 07.00 bersama rombongan umat kita.

    Diakon, kami ingin menyaksikan hari bahagiamu itu. Kami ingin bergembira bersamamu besok. Kita berada satu rumah. Saya pun sudah mengumumkan lewat Group OMK Paroki kita seperti ini: Selamat malam Ketua OMK dkk semuanya. Paroki sudah siapkan bus untuk berangkat ke Emaus pada esok hari guna mengikuti misa pentahbisan imam baru. Bila ada yang mau berangkat, bisa hubungi Ori. Kita berangkat besok pagi pukul 07.00. Trms. Begitulah pengumuman saya, disertai kartu undangan tahbisan yang di dalamnya termuat foto empat diakon berkasula merah.

    Hari ini, sejak pagi, lewat story WA, saya begitu bangga menampilkan foto tahbisanmu, kartu undanganmu dan beberapa tulisan kecilku. Saya menampilkan foto lombok-lombok yang sedang berbuah dan berbunga lagi di kebun paroki, tempat kita bermain sekaligus rekreasi. Di bawah foto lombok-lombok itu, saya menulis: Berbunga lagi. Berbunga-bungalah, bunganya.

    Selain itu, saya menulis dalam gurauan seperti ini: ENAK (Engel NAhaK), 'Siapakah Sesamaku Manusia?' (Motto tahbisamu), Selamat songsong hari tahbisan imamat, besok. Diakon Naesleu.

    Saya juga share link karya KOMSOS KA tentang para diakon yang akan ditahbis tentang: Bersaksi di Tengah Badai, Arahan Uskup Atambua Untuk Para Diakon dan Triduum Para Diakon. Selain itu, saya juga tampilkan fotomu berjubah putih sambil tersenyum memberi jempol lalu membuat tulisan kecil di bawahnya: Pertanyaan akan terus menjadi pertanyaan bila terus dipertanyakan. Pertanyaan menjadi jawaban di dalam DIA yang memanggilmu. 'Siapakah sesamaku manusia?' Sesamaku adalah dia yang setia dalam segala perkara hidup. Selamat songsong harimu: 30/11/2023. Semua ini saya tulis sebagai rasa bangga saya padamu. Akan datang seorang imam muda murah senyum yang siap melayani umat dalam reksa pastoral ini.

    Malam ini, setelah mendapat informasi duka kepulangan mamamu, segala story berubah menjadi lain sekali: Aduhhhh.... Berbagai umat kita mengucapkan: Turut berduka cita, lewat media online. Saya pun menulis: Diakon, adikku. Pertanyaan dan jawaban. Dukamu, duka kita.  

    Ternyata kisah suka berubah duka. Kami ada bersamamu, adik. Dalam hening sepi malam ini, saya kembali ke kamar sambil bertanya-tanya dalam hati. Apakah diakonku akan ditahbiskan besok atau bagaimana? Apakah diakon kuat menghadapi situasi ini? Apakah ia rela meninggalkan jenazah mamanya esok hari untuk menerima Sakramen Imamat dari Uskup Atambua, di Emaus, lalu kembali ke rumah Atambua sebagai seorang imam untuk memberkati jenasah mamanya sekaligus mempersembahkan misa pertamanya untuk mamanya? Ataukah, apakah ia bersedia menunda tahbisannya ini? Apakah semua ini bisa ia jalani? Sungguh dilematis. 

    Diakon, pikiranku melayang jauh membayangkan banyak hal tentang situasimu ini. Melihat fotomu di saat gladi terakhir, saat diakon menumpangkan tangan di atas kepala bapak yang berpakaian batik dan mama yang mengenakan baju berwarna biru, sedang berlutut menghadapmu, tanpa sadar, air mata ini gugur secara otomatis. Ternyata ini momen terakhirmu bersama mama Regelinda. Tumpangan tangan anak di atas kepala mama. Diakonku. Melihatmu, saya kehabisan kata dan cara untuk mengungkapkan semuanya ini. Mamanya meninggal di saat sedang berjuang mengantar anaknya menuju altar Tuhan, besok. Sedih sekali tapi mau bagaimana. Tetap kuat, diakon. Selamat jalan mama. Saya menulisnya dalam nada merasa sedih bersamamu. Sungguh besar derita ini, seperti syair lagu: Haruskah hidupku terus begini....aku tak sanggup lagi.

    Jalan Tuhan sungguh berbeda, sulit dimengerti tetapi nyata dialami. Salib ini terasa sangat berat untuk dipikul di waktu yang hampir bersamaan, antara kematian mama terkasih dan tahbisan imamat bagi diakonku. Hatiku hancur seperti lilin, hancur luluh di dalam dadaku. Kekuatanku kering seperti beling, lidahku melekat pada langit-langit mulutku, dan dalam debu maut Kau letakkan aku, begitu syair sang pemazmur dalam ratapannya.

    Dalam ratapan ini, ternyata inilah cara Tuhan memanggil milik pusakanya. Ia memanggil mama Regelinda untuk pulang ke rumah abadi di surga persis pada saat anak laki-lakinya siap menjawab panggilan Tuhan untuk bekerja sebagai imam di dalam Gereja-Nya. Inilah cara Tuhan memanggil. Konsekuensi panggilan, harus ada jawaban, apapun situasinya, kapan pun waktunya. Mama Regelinda, inilah derma terindahmu untuk Tuhan yang telah memanggilmu. Beri sampai habis, bayar sampai lunas, kasih sampai selesai, cinta sampai mati. Terima kasih banyak mama untuk derma dan pengorbanan ini. Diakon, kuatkan hatimu, Tuhan mendesain hidupmu secara istimewa dan mengagumkan. Waktu Tuhan pasti yang terbaik.


                Diakonku, Catatan hening malam menuju besok tahbisan imam, Naesleu, ujung bangunan, 29/11/2023     

Tag