
KAPUTU — Pagi itu, Kamis, 23 Oktober 2025, matahari menumpahkan cahayanya ke atas atap-atap rumah Kaputu. Tepat pukul sepuluh, lonceng Gereja St. Yohanes Pemandi Kaputu berdentang, menggetarkan udara dan memanggil umat untuk memasuki ruang syukur. Di altar yang terhias sederhana, namun berjiwa hening, berdirilah RD Philipus Benitius Metom, Pr, yang akrab disapa Romo Benso, sang gembala yang hari itu menapaki 25 tahun perjalanan imamatnya, dua puluh lima tahun menyalakan cinta di ladang pelayanan Tuhan.
Tema perayaan, “Ke
dalam tangan-Mu Kuserahkan nyawa-Ku,” tak lahir dari kata-kata kosong. Ia
tumbuh dari keheningan doa dan panjangnya malam-malam permenungan, menjadi
semacam ringkasan hidup seorang imam, bahwa panggilan bukan perkara jabatan,
melainkan penyerahan seutuhnya kepada kasih yang lebih besar dari dirinya
sendiri.
Perayaan Ekaristi dipimpin oleh Pater Vinsensius Wun, SVD, dihadiri oleh para imam konselebran, biarawan-biarawati, umat dan Civitas Akademika STP St. Petrus Keuskupan Atambua, tempat Romo Benso menanamkan benih ilmu kepada mahasiswa. Gereja pagi itu berdenyut oleh rasa syukur, dalam setiap nyanyian dan doa, tersimpan kisah panjang pelayanan seorang imam yang telah mencintai dalam diam.
Refleksi Lima Hari dan
Penyerahan Seumur Hidup
Dalam sambutannya,
suara Romo Benso terdengar lembut, namun menyimpan kekuatan yang lahir dari
doa. Ia berbicara tentang lima hari refleksi, masa di mana
ia menatap kembali jalan panggilannya, jalan yang tak selalu mudah, namun
selalu dipenuhi cahaya.
“Saya ingin
menyerahkan seluruh jiwa dan raga, bakat, cita-cita, dan pengetahuan saya ke
dalam tangan Tuhan melalui pelayanan Gereja,” tuturnya.
Ia menegaskan tekadnya untuk tetap setia kepada iman, taat pada Uskup Diosesan sebagai wakil Kristus, dan hidup dalam kehendak Allah yang senantiasa menuntun langkah-langkah kecilnya. Ia pun memperbarui komitmennya sebagai pendidik iman, sebagaimana ditegaskan Lumen Gentium No. 25 bahwa imam dipanggil untuk mengajar bukan hanya dengan kata, tetapi dengan hidup yang menjadi kesaksian.
Kesaksian Keluarga dan
Syukur Gereja
Ketika Andreas Tae,
perwakilan keluarga, naik ke mimbar, keheningan sejenak menyelimuti ruang
Gereja. Suaranya lantang mengenang perjalanan sang
Yubilaris dari masa muda hingga menjadi imam yang teguh dalam kesederhanaan.
“Dari Romo Benso, kami
belajar bahwa panggilan bukanlah kemewahan, melainkan kerelaan untuk mencintai
dalam diam,” ucapnya lirih namun sarat makna.
Dalam sambutan
penutup, Pater Vikjen Keuskupan Atambua memberi penghormatan penuh kasih kepada
imam yang juga dikenal sebagai Ketua Musik Liturgi Keuskupan itu.
“Selama dua puluh lima
tahun, tangan sang Yubilaris telah menjadi saluran rahmat. Tuhan sungguh hadir
di tengah-tengah kita, dalam tangan yang memberkati, mengajar, dan mengasihi,”
ujarnya, dengan nada syukur yang dalam.
Ia juga menyampaikan apresiasi kepada Dr. Rm. Theodorus Asa Siri, S.Ag, Ketua STP St. Petrus, atas ketekunan dan dedikasinya dalam menumbuhkan tunas-tunas Gereja yang berakar pada pelayanan dan iman yang kokoh.
Pesta Iman, Pesta
Budaya
Usai Ekaristi, halaman
Pastoran Kaputu berubah menjadi meja perjamuan kasih. Umat, tamu, dan civitas
akademika duduk bersama dalam kebersamaan yang hangat, berbagi senyum, kisah,
dan rasa syukur di bawah langit yang teduh. Makan bersama itu menjadi
perpanjangan dari Ekaristi: roti yang dipecah dalam kasih, bukan hanya di
altar, tetapi di antara hati yang saling berbagi.
Selepas santap siang, pesta
budaya pun mekar. Mahasiswa STP St. Petrus menari dan bernyanyi, menghadirkan
warna-warni kehidupan Gereja yang berpadu dengan kekayaan Timor. Denting gendang
Likurai dari Belu dan Malaka berpadu dengan Bidu Dawan yang mengalun lembut,
sementara tarian kreasi dan vokal grup rohani memantulkan sukacita iman umat
yang hidup.
Setiap langkah tarian, setiap dentang musik, seolah menjadi doa tubuh dan irama jiwa yang naik ke surga, mempersembahkan syukur bagi Sang Pemanggil Kehidupan.
Jejak Cahaya di Tanah
Kaputu
Dua puluh lima tahun
bukan sekadar hitungan waktu, ia adalah lukisan cinta yang digores di tanah
Kaputu, tempat iman tumbuh dalam kesetiaan. Dalam keheningan altar, di
ruang kelas, di perjumpaan sederhana dengan umat di pelosok, Romo Benso telah
menulis bab-bab kasih yang tak lekang oleh waktu.
Ketika senja
menurunkan cahaya lembutnya di Kaputu, umat beranjak pulang dengan hati yang
penuh. Mereka tahu, tangan yang hari itu menumpangkan berkat bukan tangan biasa, melainkan tangan yang telah menyerahkan seluruh hidupnya ke dalam tangan
Tuhan.
“Ke dalam tangan-Mu
kuserahkan nyawa-Ku.” Bukan sekadar motto, melainkan doa yang hidup, doa yang berdenyut dalam setiap
hati yang pernah disentuh oleh kasih seorang imam. (FD)
Tag
Berita Terkait

Tag
Arsip
Kue Pelangi Menakjubkan Terbaik
Final Piala Dunia 2022
Berita Populer & Terbaru



Jajak Pendapat Online
