Catatan kecil dan lepas di momen berharga, ketika malam sehabis hujan, diiringi ramainya suara kodok dari tanah sebelah yang tergenang air. Ada satu hari dalam setahun yang sepi dari gegap gempita, namun sarat makna yang tak terucap. 12 November, hari ketika kita diingatkan pada sosok yang jarang menuntut untuk diingat, namun tanpa kehadirannya, arah hidup kita mungkin tak pernah sejelas ini.
Hari Ayah bukan tentang pesta atau
ucapan yang megah. Ia adalah jeda hening, tempat kita merenungkan cinta yang
bekerja tanpa suara: cinta yang menuntun tanpa memaksa, melindungi tanpa
mengekang, dan mengajarkan tanpa menggurui. Di balik ketegasan yang kadang
kaku, tersimpan ruang lembut yang menjaga setiap harapan agar tetap hidup.
Ada sosok yang tak banyak bicara,
tapi setiap langkahnya menulis puisi sunyi tentang pengorbanan. Dalam tatap
matanya, hidup tampak sederhana, asal hati teguh, segalanya bisa dijalani. Ia
tak hanya memberi hidup, tapi juga arah; mengajarkan cara berdiri ketika dunia
mengguncang, dan bagaimana tetap lembut saat keras menjadi satu-satunya
pilihan.
Ia mungkin tak pandai berkata cinta,
tapi keringat di dahinya adalah doa yang tak bersuara. Ia menahan letih agar
anak-anaknya bisa berlari bebas. Saat malam menutup hari dan dunia
beristirahat, dialah penjaga sunyi, menenun harapan dari sisa tenaga. Di balik
ketegasannya yang kadang keras, tersembunyi kelembutan yang hanya dimengerti
hati yang telah dewasa: kasih yang bekerja dalam diam, namun meninggalkan jejak
abadi.
Psikologi menyebutnya secure base, pondasi
rasa aman tempat jiwa bertumbuh. Figur ayah bukan sekadar
penopang hidup, melainkan jangkar batin yang membuat anak berani berlayar di
lautan dunia. Setiap langkahnya adalah pelajaran tak
tertulis tentang disiplin, kesabaran, dan keberanian untuk tetap tegak ketika
dunia mulai goyah.
Namun seringkali, cinta ayah tenggelam dalam bayang kelembutan ibu. Padahal, di balik keheningan maskulinnya, tersimpan cinta yang tak kalah dalam, cinta yang menunda mimpi agar anak-anaknya bisa bermimpi lebih jauh. Seperti bait Eric Clapton dalam “My Father’s Eyes”: Through my father’s eyes, I saw the world begin. Dari tatapan itu, dunia pertama kali tampak mungkin, tempat kita belajar bahwa kekuatan bisa hadir dalam diam, dan kasih bisa tumbuh tanpa perlu banyak kata.
Dan ketika kita memanggilnya Ayah,
sejatinya kita sedang menyebut nama lain dari kesetiaan. Ia adalah cinta yang
tak mencari sorotan, tapi menjadi cahaya yang menuntun arah. Ia adalah tiang
rumah, kompas hati, dan diam yang menguatkan. Dalam panggilan sederhana itu, Ayah, tersimpan
seluruh pelajaran tentang menjadi manusia: kuat tanpa kehilangan lembut,
mencinta tanpa banyak kata, dan berkorban tanpa pernah meminta balasan.
A Y A H
A - Arah yang menuntun
Y - Yakin dalam diam
A - Anugerah yang tersembunyi
H - Harapan yang dijaga
“Dalam setiap panggilan ‘Ayah’, tersimpan
pelajaran tentang arah, keyakinan, anugerah, dan harapan, empat pilar cinta yang
membentuk manusia yang teguh tanpa kehilangan lembut.” AYAH, selamat berbahagia.
(Hening kamar hutan keramat, pertengahan November, kata Ayah muncul sebagai kekuatan yang menghidupkan.KU)
Tag
Berita Terkait
Tag
Arsip
Kue Pelangi Menakjubkan Terbaik
Final Piala Dunia 2022
Berita Populer & Terbaru
Jajak Pendapat Online