Fafinesu, Timor. Matahari menanjak perlahan di balik Gunung Fafinesu, menebar cahaya menyengat di atas ladang-ladang kering. Jalan-jalan kampung mulai ramai oleh langkah-langkah tenang. Selendang tenunan bermotif disampirkan di bahu, kain bete dan tais melilit tubuh pria dan wanita, dan wajah-wajah berseri di bawah hangatnya matahari. Di tanah yang keras, doa menjadi bahasa air. Perjalanan menuju gereja adalah ziarah menuju kedalaman hati, sebuah langkah kecil dalam perjalanan besar menuju harapan yang dijanjikan Allah.
Tanggal 2 November setiap tahun, Gereja Katolik sejagat memperingati Hari Arwah Semua Orang Beriman, hari khusus untuk mendoakan mereka yang telah meninggal dunia agar diterima dalam rahmat pengampunan Allah. Tradisi ini berakar sejak abad ke-10 sebagai hari doa bagi arwah, dan hingga kini Gereja memeliharanya sebagai ungkapan kasih dan iman akan kehidupan kekal. Seperti ditegaskan dalam Katekismus Gereja Katolik (KGK 1032), “Gereja menganjurkan doa bagi arwah, khususnya persembahan Ekaristi, agar mereka disucikan dan diperkenankan memandang wajah Allah.”
Tahun 2025 ditandai Gereja Universal sebagai Tahun Yubileum, Tahun Rahmat, Tahun Ziarah Pengharapan. Dalam semangat itu, umat Paroki Fafinesu menghidupi kembali iman mereka di tengah tanah kering, menemukan harapan di antara kenangan dan kehilangan. Yubileum bukan hanya perayaan Gereja dunia, bagi umat Katolik Atoni Pah Meto, menjelma menjadi perjalanan batin untuk memulihkan relasi, dengan Tuhan, dengan sesama, dengan leluhur, dan dengan tanah yang memberi hidup.
Altar Kenangan dan Kasih yang Tak
Pernah Padam
Misa dimulai tepat pukul 09.30,
dipimpin oleh Rm Kristo Ukat, Pr. Warna liturgi ungu membalut altar, tanda
tobat, pengharapan, dan penantian akan hidup kekal.
Satu per satu nama arwah disebut dalam
doa umat. Setiap nama bukan sekadar suara di udara, melainkan kisah yang pernah
hidup: tangan yang menenun kain, kaki yang menapak ladang, bibir yang berdoa di
ruang keluarga. Dalam khidmat nyanyian koor THS/THM, suara doa menyatu dengan
denyut tanah, sebuah kesatuan antara dunia yang kelihatan dan yang tak
kelihatan.
Dalam homilinya, Rm Kristo berbicara dengan nada lembut namun penuh daya, “Hari ini kita datang ke hadapan altar Tuhan dengan hati penuh kenangan. Ada wajah-wajah yang terlintas: orang tua, sahabat, anak, pasangan hidup. Mereka tidak lagi duduk di samping kita, tetapi kita tahu, mereka hidup dalam kasih Allah yang abadi.”
Kata-kata itu seperti hembusan angin yang menembus ruang gereja sederhana di seputaran gunung Fafinesu. Hari Arwah, katanya, bukanlah hari berkabung, melainkan hari kasih yang mengingat. “Doa bagi arwah adalah perbuatan yang saleh dan bajik,” demikian sabda Kitab Makabe (2Mak 12:45).
Dalam pandangan Atoni Pah Meto, doa
seperti itu tak hanya diucap di altar, tetapi juga di tanah, di kubur, di bawah
pohon, di altar rumah, di hadapan leluhur yang dipercayai masih berjalan bersama
anak-cucunya.
Rm Kristo menambahkan, “Doa kita bukan sekadar kenangan, tetapi tanda iman yang hidup. Doa itu menembus batas waktu, menjadi pelukan rohani bagi jiwa-jiwa yang kita kasihi.”
Doa menjadi jembatan antara dunia yang fana dan dunia yang kekal. Sebagaimana ditegaskan oleh Gereja dalam Katekismus No. 958: “Doa kita bagi mereka dapat membantu mereka, dan doa mereka bagi kita berdaya guna.”
Di Antara Batu dan Pepohonan
Usai misa, umat Paroki Fafinesu yang
berdomisili di Fatuhao, bergerak menuju pemakaman umum Bernama Leol Aes,
pemakaman di lereng gunung Fafinesu yang teduh. Perjalanan ini cukup jauh, sekitar 4 km dari perkampungan. Ada yang berjalan kaki, ada yang menggunakan kendaraan beroda dua dan empat. Di bawah naungan pohon-pohon
besar, keluarga-keluarga dari berbagai penjuru berkumpul di pusara keluarga dan
leluhur. Lilin dinyalakan, bunga ditaburkan, berbagai sajian dihidangkan dan
dipersembahkan di atas pusara.
Sapaan ramah terlontar keluar dalam bahasa
ibu: Hoe, hai emen artinya, kami sudah datang. Kemudian diikuti dengan
duduk-duduk bersama anggota keluarga di sekitar pusara keluarga. Di beberapa titik
sudut pekuburan, asap mulai mengepul pertanda hewan kurban mulai dibakar
setelah melewati ritual doa.
Lalu tibalah saat makan bersama dengan
para arwah. Tanah menjadi altar. Di atasnya tersaji nasi, sirih-pinang, dan
ayam. Seekor ayam disembelih bukan sebagai sesaji untuk disembah, melainkan
tanda kasih dan penghormatan. Ayam menjadi lambang kurban dan komunikasi dengan
para arwah. Sopi dituangkan perlahan ke tanah, sebuah sapaan dan salam kasih
dari dunia yang masih berjalan kepada dunia yang telah sampai.
Dalam terang iman Katolik, tindakan ini bukan pemujaan roh, melainkan perjamuan kasih dalam bentuk lokal yang indah. Di hadapan pusara, batas antara dunia hidup dan mati mencair. Sebagaimana ditegaskan oleh Rasul Paulus, “Kristus telah dibangkitkan dari antara orang mati sebagai yang sulung dari mereka yang telah meninggal (1Kor 15:20). Kematian bukan titik, melainkan koma dalam kalimat panjang kehidupan.
Kematian, bagi umat Fafinesu, bukan
akhir perjalanan. Tetapi persinggahan menuju rumah Tuhan. Maka doa di
pusara menjadi pernyataan iman pada kasih yang tak memudar, sebuah ziarah
pengharapan yang menghidupkan kembali keyakinan bahwa Allah tetap bekerja di
tengah keterbatasan manusia.
Harapan yang Tumbuh
Bagi orang Fafinesu, tanah bukan benda
mati, melainkan tubuh yang hidup. Tanah menyimpan roh, sejarah, dan kasih. Tanah adalah saksi bisu tentang perjalanan manusia dan rahim yang melahirkan kembali
kehidupan.
Maka ketika umat Fafinesu berdoa di tengah
ladang gersang, mereka sedang berbicara dengan bumi, dengan keyakinan bahwa di
tanah kering pun, kasih Tuhan tetap menumbuhkan harapan.
Dalam pandangan iman mereka, ada
keyakinan akan naketi uab, pemulihan komunikasi antara manusia, leluhur,
dan Pencipta. Inilah wajah lokal dari communio sanctorum, persekutuan
para kudus yang saling mendoakan melintasi waktu dan ruang.
Ini merupakan teologi harapan yang
tumbuh dari tanah kering. Sebuah teologi yang tidak lahir dari buku-buku tebal,
melainkan dari pengalaman konkret iman umat yang tetap percaya di tengah
keterbatasan.
“Ketika kita menyalakan lilin di makam
dan menyebut nama mereka dalam doa, itu bukan ritual semata, tetapi tanda kasih
yang terus hidup. Doa kita menyatukan dua dunia, dunia kita yang masih
berziarah dan dunia mereka yang telah sampai di rumah Bapa.”
Dalam semangat Tahun Yubileum, doa di tanah kering ini menjadi bagian dari ziarah pengharapan universal, bahwa Gereja dipanggil untuk berjalan bersama umat di segala pelosok bumi, termasuk di wilayah pegunungan seputaran Fafinesu, untuk menegaskan kembali kasih Allah yang tidak pernah tandas.
Cahaya yang Tak Pernah Padam
Menjelang sore, angin gunung masih
berhembus menyengat, meniup berbagai asap yang mengepul di seputaran kuburan
menuju ke langit. Lilin-lilin padam satu per satu, tetapi cahaya di hati umat
tetap menyala.
Seorang ibu tua menatap pusara dan
berbisik pelan menjelang pulang, “Kita semua masih satu rumah, hanya kamar yang berbeda.” Kalimat
itu menjadi penutup yang indah bagi hari panjang itu. Bahwa kematian bukan
perpisahan, melainkan bagian dari rumah besar kasih Tuhan, rumah di mana semua
jiwa akhirnya pulang.
Tanah kering pun tidak lagi terasa
tandus. Tanah ini menjadi taman harapan, tempat di mana kasih Tuhan berakar,
bertumbuh, dan berbunga, di antara batu, angin, pepohonan rindang dan doa umat
yang tak pernah berhenti berharap.
Seperti Yubileum yang mengajak seluruh
Gereja untuk melangkah dalam ziarah pengharapan, umat Fafinesu pun berjalan
dengan hati yang terbuka. Di tanah kering, harapan tetap tumbuh, sederhana,
hening, namun pasti. Sebab di setiap debu tanah, kasih Tuhan tetap menulis
kisah kebangkitan. (KU)
...........
Feature ini ditulis dari perayaan Hari Arwah di Paroki Fafinesu, Keuskupan Atambua, dalam semangat Tahun Yubileum 2025, Tahun Rahmat dan Ziarah Pengharapan. Tulisan ini mengisahkan pengalaman iman umat Fafinesu yang mengekspresikan pengharapan kristiani dalam budaya lokal, di mana doa bagi arwah menjadi ziarah kasih yang memulihkan hubungan manusia dengan leluhur, tanah, dan Allah sumber kehidupan.
Tag
Berita Terkait
LEBENSWELT TABUA: KOSMOLOGI KEBERSAMAAN ATONI PAH METO DALAM CERMIN FENOMENOLOGI ALFRED SCHUTZ
Tag
Arsip
Kue Pelangi Menakjubkan Terbaik
Final Piala Dunia 2022
Berita Populer & Terbaru
Jajak Pendapat Online