• Hari ini: October 22, 2025

Prokrastinasi: Antara Kebiasaan Menunda dan Tantangan Iman Mahasiswa

22 October, 2025
48

Dalam perjalanan hidup mahasiswa, ada masa-masa di mana waktu luang masih cukup banyak. Namun justru di situlah muncul godaan besar: merasa aman, santai, dan menunda hal-hal penting dengan pikiran “nanti saja.” Padahal, akan datang suatu saat di mana waktu luang begitu melimpah hingga terasa membosankan, tetapi kesempatan emas untuk dibentuk dan berjuang sudah terlewatkan. Maka, masa kuliah sekarang adalah saat paling tepat untuk mengelola setiap kesempatan yang ada dengan sebaik-baiknya. Jika waktu yang ada diabaikan dengan santai, maka penyesalan di kemudian hari tidak bisa dihindari. Kebiasaan menunda-nunda tersebut sering disebut prokrastinasi.

Apa itu Prokrastinasi?

Prokrastinasi adalah kecenderungan seseorang untuk menunda tugas penting secara sengaja meskipun menyadari konsekuensi negatif dari penundaan tersebut. Dalam psikologi modern, prokrastinasi tidak sekadar dianggap masalah manajemen waktu, melainkan bentuk kegagalan dalam regulasi emosi. Individu menunda tugas sebagai upaya menghindari perasaan tidak menyenangkan seperti cemas, bosan, atau takut gagal, dengan memilih kepuasan sesaat yang pada akhirnya menambah beban psikologis akibat pekerjaan yang menumpuk. Penelitian terbaru menunjukkan adanya hubungan positif antara kesulitan regulasi emosi dengan tingkat prokrastinasi akademik, di mana mahasiswa dengan kecenderungan menunda yang tinggi juga melaporkan skor lebih tinggi dalam dimensi DERS-Strategies (Frontiers in Psychology, 2020).

Lebih lanjut, studi lintas negara membuktikan bahwa rasa takut gagal dapat memicu prokrastinasi secara tidak langsung melalui kesulitan dalam mengelola emosi negatif (Springer, 2024). Bahkan, penelitian longitudinal menemukan bahwa prokrastinasi akademik dan kesulitan regulasi emosi saling memengaruhi: keduanya meningkat bersamaan dalam kurun waktu tertentu, dan tingkat prokrastinasi di awal mampu memprediksi peningkatan kesulitan regulasi emosi di kemudian hari (ScienceDirect, 2025). Dengan demikian, prokrastinasi dapat dipahami sebagai fenomena psikologis kompleks yang berakar pada interaksi antara faktor emosional dan perilaku, bukan sekadar persoalan kedisiplinan waktu.

Jenis-Jenis Prokrastinasi

Jenis-jenis prokrastinasi pada mahasiswa dapat dipetakan ke dalam beberapa kategori utama yang memiliki dampak signifikan terhadap kehidupan akademik mereka. Bentuk yang paling banyak dibahas adalah prokrastinasi akademik, yaitu kecenderungan menunda aktivitas inti seperti belajar, mengerjakan tugas, atau menulis skripsi. Penundaan ini terbukti memiliki korelasi langsung dengan rendahnya prestasi dan peningkatan stres mahasiswa (ERIC, 2019). Selain itu, terdapat prokrastinasi keputusan, yakni kecenderungan menunda pengambilan keputusan penting seperti pemilihan topik penelitian, jurusan, atau arah karier. Penundaan ini umumnya bersumber dari kecemasan terhadap pilihan dan ketidakmampuan mengelola ketidakpastian (Frontiers in Psychology, 2020).

Dua bentuk lain yang juga relevan adalah prokrastinasi perfeksionis dan prokrastinasi hedonik/arousal. Prokrastinasi perfeksionis muncul pada mahasiswa yang menuntut standar tinggi, sehingga mereka menunda pekerjaan karena takut hasilnya tidak sempurna; ironisnya, ketakutan ini justru memperburuk kualitas kerja akademik mereka (White Rose Research Online, 2018). Sementara itu, prokrastinasi hedonik/arousal ditandai dengan kecenderungan sengaja menunda hingga mendekati tenggat waktu karena mahasiswa merasa bekerja lebih “bersemangat” di bawah tekanan. Namun, strategi ini sering berujung pada hasil yang tidak optimal (Frontiers in Psychology, 2021). Penelitian terbaru menegaskan bahwa intervensi berbasis regulasi motivasi—misalnya dengan memecah tujuan besar menjadi langkah kecil dan membangun strategi pengelolaan emosi—dapat membantu mengurangi prokrastinasi dan meningkatkan performa akademik mahasiswa (ScienceDirect, 2022).

Bukti Empiris

Berbagai bukti empiris dari studi kohort maupun tinjauan meta-analisis menunjukkan bahwa prokrastinasi memiliki konsekuensi serius terhadap kesehatan mental dan capaian akademik mahasiswa. Penundaan yang berulang bukan sekadar tanda kurang disiplin, melainkan faktor risiko yang terukur bagi kesejahteraan psikologis. Sebuah studi kohort berskala besar menemukan bahwa prokrastinasi berkorelasi dengan kondisi mental yang memburuk pada periode berikutnya, khususnya dalam bentuk meningkatnya gejala depresi, kecemasan, dan stres (PMC, 2023). Temuan ini menegaskan bahwa dampak prokrastinasi jauh melampaui persoalan manajemen waktu, sebab ia menimbulkan tekanan psikologis yang signifikan.

Selain itu, kajian lintas penelitian memperlihatkan pola yang konsisten: mahasiswa yang cenderung menunda tugas melaporkan tingkat stres yang lebih tinggi, performa akademik yang menurun, dan kesejahteraan yang berkurang secara umum. Seperti ditegaskan dalam penelitian lain, “procrastination is associated with increased stress, lower task performance, reduced well-being” (Frontiers, 2021). Dengan demikian, prokrastinasi perlu dipahami bukan hanya sebagai kebiasaan yang merugikan secara individual, tetapi juga sebagai isu kesejahteraan kampus yang menuntut perhatian institusi pendidikan tinggi untuk mencegah dampak jangka panjang terhadap kesehatan mental dan prestasi mahasiswa (PMC, 2023).

Intervensi Ilmiah yang Efektif

Literatur psikologi terkini menekankan bahwa prokrastinasi tidak cukup diatasi hanya dengan nasihat disiplin, melainkan memerlukan pendekatan intervensi yang sistematis. Kajian terbaru menunjukkan tiga jalur yang terbukti efektif: pelatihan regulasi emosi (misalnya melalui mindfulness dan self-compassion), penerapan strategi motivasional (seperti membagi tugas besar menjadi langkah-langkah kecil dan penetapan tujuan jangka pendek), serta pengembangan keterampilan manajemen waktu. Grunschel et al. (2016) secara khusus menemukan bahwa penggunaan motivational regulation strategies mampu menurunkan tingkat prokrastinasi akademik sekaligus meningkatkan performa belajar dan kesejahteraan mahasiswa (ScienceDirect, 2016). Hal ini memperlihatkan bahwa prokrastinasi erat kaitannya dengan dimensi psikologis dan motivasional, bukan sekadar masalah teknis pengelolaan waktu.

Lebih jauh, tinjauan intervensi berbasis kelas memperkuat argumen bahwa program yang menargetkan motivasi dan strategi belajar memiliki dampak signifikan dalam mengurangi perilaku menunda (ScienceDirect, 2019). Bahkan, penelitian lain menegaskan bahwa intervensi yang paling efektif adalah yang bersifat komprehensif, yakni menggabungkan teknik kognitif-perilaku (misalnya strukturisasi tugas), pelatihan regulasi emosi (mindfulness atau self-compassion), serta dukungan kontekstual dari pembimbing atau dosen (White Rose Research Online, 2021). Dengan demikian, solusi terhadap prokrastinasi mahasiswa harus bersifat multidimensi, menyeimbangkan aspek intrapersonal (regulasi diri) dan interpersonal (dukungan akademik), agar hasilnya tidak hanya menurunkan penundaan tetapi juga memperkuat daya tahan psikologis mahasiswa di tengah tuntutan akademik yang kompleks.

Dasar Biblis, Magisterium, dan Tradisi Gereja: Perspektif Pastoral bagi Mahasiswa

Meskipun Kitab Suci tidak menggunakan istilah “prokrastinasi” secara eksplisit, prinsip yang menolak kebiasaan menunda telah ditegaskan berulang kali. Kitab Pengkhotbah, misalnya, mengingatkan: “Siapa senantiasa memperhatikan angin, tidak akan menabur; dan siapa senantiasa melihat awan, tidak akan menuai” (Pkh 11:4), suatu gambaran tentang orang yang selalu menunggu kondisi sempurna sehingga akhirnya gagal bertindak (Bible Hub, 2023). Demikian pula, Surat Yakobus menyatakan: “Jika seseorang tahu berbuat baik tetapi tidak melakukannya, ia berdosa” (Yak 4:17). Kedua teks ini menekankan urgensi bertindak saat ini—kesempatan untuk melakukan kebaikan tidak boleh ditunda, sebab penundaan adalah bentuk kelalaian yang memiliki konsekuensi moral.

Ajaran Gereja meneguhkan visi Kitab Suci tersebut. Katekismus Gereja Katolik menyebut acedia (kemalasan rohani) sebagai salah satu godaan serius yang melemahkan dinamika hidup iman (KGK 2733; CanonLaw.Ninja, 2020). Paus Fransiskus dalam Evangelii Gaudium menekankan bahwa “waktu lebih besar daripada ruang” (no. 222), sebuah prinsip yang menolak sikap menunda demi mengingatkan umat agar tidak terjebak dalam kelesuan pastoral dan selalu bergerak maju dalam misi (Evangelii Gaudium, 2013). Dalam Tradisi, Santo Agustinus kerap menegur orang yang menunda pertobatan dengan seruan “Noli foras ire”—jangan menunggu kesempatan lain, karena rahmat bekerja pada saat ini. St. Benediktus, dalam Regula-nya, juga menekankan disiplin waktu dan kewaspadaan terhadap “kesembronoan” yang merusak hidup rohani.

Perspektif ini sangat relevan bagi mahasiswa: prokrastinasi bukan sekadar soal produktivitas akademik, melainkan sikap eksistensial terhadap waktu, panggilan, dan rahmat Allah yang ditawarkan dalam momen sekarang. Dengan demikian, baik Kitab Suci maupun Tradisi Gereja meneguhkan pandangan bahwa menunda berarti menyia-nyiakan kairos—waktu rahmat yang seharusnya dimanfaatkan.

Kesimpulan

Prokrastinasi bukan sekadar kebiasaan buruk, melainkan fenomena kompleks yang menyentuh aspek psikologis, akademik, dan spiritual kehidupan mahasiswa. Penelitian mutakhir secara konsisten membuktikan bahwa kebiasaan menunda tugas meningkatkan risiko stres, depresi, dan penurunan kinerja akademik, sekaligus mengikis kesejahteraan pribadi (ScienceDirect, 2019; White Rose Research Online, 2021). Namun, bukti yang sama juga menunjukkan bahwa prokrastinasi dapat ditangani secara efektif melalui intervensi multidimensi: latihan regulasi emosi, strategi motivasional yang konkret, serta dukungan kontekstual dari komunitas akademik. Dengan kata lain, prokrastinasi bukanlah kutukan permanen, tetapi tantangan yang dapat ditaklukkan dengan disiplin, dukungan, dan kesadaran diri.

Dari perspektif teologi, Kitab Suci, Tradisi, dan Magisterium Gereja mengingatkan bahwa menunda bukan hanya kerugian akademik, melainkan juga kerugian moral dan rohani. “Siapa tahu berbuat baik tetapi tidak melakukannya, ia berdosa” (Yak 4:17), sebuah peringatan bahwa setiap penundaan berarti menyia-nyiakan kairos-waktu rahmat yang diberikan Allah. Bagi mahasiswa, melawan prokrastinasi adalah sekaligus tanggung jawab intelektual dan panggilan iman: mengelola waktu dengan bijak, menghidupi panggilan belajar sebagai bagian dari pertumbuhan diri, dan menjadikan setiap kesempatan belajar sebagai wujud syukur atas rahmat kehidupan. Dengan demikian, disiplin akademik, keseimbangan emosional, dan kedalaman rohani berpadu menjadi jalan menuju kematangan yang utuh.

Maka, pecahlah tugas besar menjadi langkah-langkah kecil dan terukur, sehingga motivasi tetap terjaga (ScienceDirect, 2019). Latih kesadaran diri melalui mindfulness atau self-compassion untuk mengurangi kecenderungan melarikan diri dari tugas (White Rose Research Online, 2021). Carilah dukungan komunitas—kelompok belajar, pembimbing, atau sahabat rohani—agar tercipta akuntabilitas (ScienceDirect, 2020). Renungkan waktu sebagai anugerah ilahi, bukan beban. Dalam iman Kristen, setiap detik adalah kairos yang tidak boleh disia-siakan (Vatican, 2013).

Dengan mengintegrasikan strategi psikologis, akademis, dan spiritual ini, mahasiswa dapat mengubah prokrastinasi menjadi kesempatan pembentukan diri—sebuah jalan menuju kedewasaan intelektual sekaligus kedalaman iman. (KU)