• Hari ini: June 23, 2025

BUKU HARIAN DAN CONFESSIONESNYA SANTO AGUSTINUS

23 June, 2025
285

BUKU HARIAN DAN CONFESSIONESNYA SANTO AGUSTINUS

(K. Ukat) 

Buku harian merupakan sebuah catatan pribadi yang biasanya berisi pemikiran, perasaan, pengalaman, dan kejadian-kejadian dalam kehidupan sehari-hari seseorang. Buku harian seringkali ditulis secara rutin, dan dapat mencakup berbagai hal mulai dari hal-hal kecil yang terjadi dalam hidup seseorang hingga perasaan atau refleksi mendalam mengenai kehidupan, hubungan, atau peristiwa penting. Gordon Allport, seorang psikolog terkenal, dalam bukunya Personality: A Psychological Interpretation mengaitkan penulisan buku harian dengan ekspresi diri dan pengembangan kepribadian. Allport berpendapat bahwa buku harian adalah salah satu cara seseorang menjelaskan dan merefleksikan pengalaman pribadinya, yang memungkinkannya memahami identitas dan proses psikologisnya dengan lebih baik. Allport menyatakan bahwa “Penulisan pribadi adalah salah satu cara untuk mengorganisir dan memahami perasaan serta pikiran yang bergejolak dalam diri individu.” Hal senada, diungkapkan oleh John Dewey, filsuf Pendidikan, yang mengaitkan refleksi dalam pembelajaran. Dewey mengatakan, “Reflective thought, in which one evaluates and reconsiders one's own experiences, is an essential process of learning” (Pemikiran reflektif, di mana seseorang mengevaluasi dan mempertimbangkan kembali pengalaman dirinya, adalah proses yang penting dalam pembelajaran).

Santo Agustinus, filsuf sekaligus teolog Kristen Barat dalam bukunya Confessiones mengisahkan pengalaman hidupnya yang berisi refleksi spiritual dan teologis yang mendalam. Kisah hidup dan pengalamannya tentang perjalanan hidupnya, pergumulannya dengan dosa, dan pencarian akan Tuhan. Selain cerita tentang hidupnya, Agustinus merenungkan masalah-masalah mendalam mengenai dosa, rahmat Tuhan, kehendak bebas, waktu dan pencarian kebenaran. Melalui Confessions yang ditulisnya pada tahun 397-400 M dan terdiri dari 13 bagian itu, Agustinus memperlihatkan kedalaman spiritualitas dan pemikirannya yang memengaruhi banyak orang di masa lalu dan masih relevan hingga kini. Sama seperti buku harian, Confessions merupakan catatan pribadi Agustinus yang berisi pengakuan mengenai kehidupannya, perjalanan rohaninya, dan pengalaman emosional yang ia rasakan. Agustinus mengungkapkan dengan jujur tentang masa lalunya, dosa-dosanya, pergumulan batin dan pertobatannya, yang mirip dengan menulis buku harian untuk mencatat pemikiran dan perasaan pribadi. Dalam buku harian, seseorang menulis untuk mendapatkan pencerahan dan pengertian lebih dalam tentang dirinya sendiri. Begitu pula dalam Confessions, Agustinus menggunakan narasi pribadinya sebagai sarana untuk belajar tentang dirinya dan untuk mencari hubungan yang lebih dekat dengan Tuhan.

Secara umum, tujuan dari buku harian adalah untuk memberikan ruang bagi penulisnya untuk mengungkapkan diri tanpa takut dihakimi atau dilihat orang lain. Ini bisa menjadi cara untuk mengelola emosi, memproses pengalaman, atau sekadar mencatat peristiwa penting agar tidak terlupakan. Dalam banyak kasus, buku harian digunakan sebagai alat untuk refleksi diri, membantu penulis untuk memahami dirinya lebih baik dan mengembangkan kesadaran diri. Buku harian bisa berbeda-beda bentuknya, ada yang ditulis tangan dalam buku fisik, ada juga yang ditulis secara digital menggunakan aplikasi atau platform online. Terlepas dari bentuknya, yang menjadi inti dari buku harian adalah kejujuran dan kebebasan untuk mengekspresikan pikiran serta perasaan dengan cara yang paling pribadi dan bebas.

Dalam Confessions yang ditulis Santo Agustinus, kita mendapati sebuah refleksi spiritual yang sangat jujur mengenai perasaan manusiawi yang kompleks dan seringkali bertentangan. Buku harian, dalam pandangan Augustinus, bukan sekadar tempat mencatat kejadian-kejadian luar biasa, tetapi menjadi ruang bagi pergulatan batin yang mendalam dan penuh keraguan. Dalam setiap lembar yang ditulis, Agustinus tidak hanya mengungkapkan momen-momen penuh kegembiraan atau pencerahan, tetapi juga kegelapan hati yang menandai pencarian spiritualnya. Sebuah pencarian yang melibatkan emosi-emosi yang sangat manusiawi, seperti marah, kecewa, takut, cemburu, egoisme, dan bahkan ketidakmampuan untuk menghargai jasa orang lain. Salah satu tema utama yang muncul dalam Confessions adalah kekuatan dan dampak dari emosi negatif yang seringkali menguasai kehidupan manusia. Seperti yang dicatat oleh Augustinus, manusia memiliki kecenderungan untuk marah dan merasa tersinggung oleh hal-hal kecil yang pada akhirnya mencerminkan ketidaksempurnaan hati. Dalam Confessions, ia menulis, “Aku marah kepada mereka yang menyinggungku, tetapi aku tidak melihat bagaimana aku telah menyakiti orang lain” (Buku II, Bab 4). Di sini, Augustinus mengungkapkan dengan jelas, bahwa kemarahan yang berasal dari hati yang penuh kebanggaan dan egoisme bisa mengaburkan penglihatan seseorang terhadap dosa-dosa sendiri, sementara dengan mudah melihat kesalahan orang lain.

Kecewa dan takut, dua perasaan yang sangat manusiawi, juga menghiasi perjalanan hidupnya. Ketika Agustinus mengakui bahwa ia merasa tersesat dan bingung dengan jalan yang harus ditempuh, ia menulis, “Engkau adalah kebenaran yang tak terjangkau, tetapi aku mencari-Mu di tempat yang salah, dan aku kecewa karena tidak menemukannya” (Buku IV, Bab 8). Dalam pengakuannya, kita dapat merasakan betapa dalamnya kekecewaan yang datang dari perasaan kehilangan arah, dan betapa ketakutan akan masa depan mengisi ruang pikirannya. Kecewa terhadap dirinya sendiri dan takut akan akibat dari jalan yang salah seringkali membuat seseorang merasa terisolasi dan jauh dari kasih Tuhan. Namun, perasaan kecewa dan takut tersebut hanya bagian dari gambaran yang lebih besar. Augustinus juga merasakan rasa cemburu, terutama dalam hubungan-hubungan sosial dan spiritual. Ia menulis, “Aku cemburu terhadap orang-orang yang tampaknya hidup dengan damai tanpa Tuhan, meskipun aku tahu bahwa mereka berada dalam kebohongan dan kegelapan” (Buku V, Bab 13). Perasaan cemburu ini mencerminkan kedalaman keraguannya, betapa kadang-kadang godaan duniawi bisa menarik hati manusia, dan perasaan tersebut dapat memanifestasikan diri dalam kecemburuan terhadap kehidupan orang lain, meskipun pada kenyataannya, mereka belum menemukan kedamaian sejati.

Sebagai manusia, Augustinus juga tidak luput dari egoisme dan kesombongan. Dua kelemahan ini seringkali menyelimuti hati. Ia menulis tentang keinginan untuk dipuji, bahkan dalam hal-hal kecil sekalipun, termasuk keinginan untuk diakui oleh orang lain. Hal tersebut mengarahkan dirinya untuk mencari kebahagiaan di luar dirinya, alih-alih menemukan kedamaian dalam Tuhan. “Aku ingin menjadi lebih baik, tetapi aku juga ingin dilihat lebih baik oleh orang lain. Aku mendambakan pujian yang tidak layak aku terima” (Buku VII, Bab 5). Di sini, kita melihat Augustinus yang terjebak dalam dilema antara pengakuan eksternal dan kebahagiaan sejati yang datang dari kesatuan dengan Tuhan. Kesombongan ini bukan hanya tentang menginginkan pujian, tetapi juga tentang menutupi ketidaksempurnaan dirinya dengan topeng kesuksesan. Selain itu, ada juga pergolakan yang lebih mendalam mengenai pengabaian terhadap jasa orang tua, sebuah tema yang sering muncul dalam perjalanan pertobatannya. Dalam Confessions, ia mengakui, “Aku pernah melupakan semua pengorbanan ibuku, yang selalu berdoa untukku, dan aku tidak pernah menghargai kasihnya yang tak terhingga” (Buku IX, Bab 10). Ada pengakuan yang tulus tentang kesombongan dan egoisme membuatnya lupa akan segala jasa dan kasih sayang orang tua, padahal sesungguhnya adalah anugerah terbesar dalam hidupnya. Betapa banyak dari kita yang mungkin merasa terasing dari kasih orang tua atau menganggapnya sebagai hal yang biasa, tanpa menyadari bahwa kasih orang tua merupakan saluran pertama yang menghubungkan kita dengan Tuhan.

Tidak jarang, dalam keputusasaan dan kebingungannya, Augustinus menangis. Menangisnya Agustinus, bukan hanya untuk dosa-dosanya tetapi untuk kerinduannya akan Tuhan. Dalam Confessions, ia menulis, “Air mataku adalah kesaksian hatiku yang terluka. Aku menangis bukan karena duka duniawi, tetapi karena aku merasa jauh dari-Mu, Tuhan” (Buku X, Bab 22). Tangisan ini mencerminkan kedalaman keresahan batinnya yang sangat manusiawi. Ketika seseorang merasa tersesat atau terpisah dari Tuhan, tangisan menjadi cara untuk mengungkapkan perasaan itu, sebagai bentuk pengakuan bahwa hanya Tuhan yang dapat memberikan kedamaian sejati yang dicari. Augustinus mengungkapkan segala bentuk ketidakpastian dan keraguan yang ada dalam dirinya, Confessions juga menawarkan suatu bentuk pemulihan dan harapan. Meskipun ia penuh dengan emosi yang mungkin dianggap negatif seperti marah, cemburu, egois, atau bahkan lupa akan jasa orang tua, bukunya ini pada akhirnya membawa pembaca kepada kesadaran bahwa Tuhan menerima pengakuan dosa, kesedihan, dan ketidaksempurnaan manusia. Dalam sebuah bagian, Augustinus menyatakan, “Tuhan, Engkau tidak menginginkan korban dari darah, tetapi sebuah hati yang patah dan tertekan. Engkau mendengarkan tangisan hati kami” (Buku X, Bab 27). Ini mengingatkan kita bahwa Tuhan tidak menginginkan kesempurnaan dari kita, tetapi sebuah kerendahan hati untuk mengakui segala kekurangan dan menyerahkan diri kepada-Nya.

Melalui pengakuan Augustinus yang jujur dengan perasaan-perasaan manusiawi yang rumit ini, Confessions mengajak kita untuk merenungkan bahwa meskipun kita diliputi dengan aneka perasaan negative, semuanya itu tidak menutup kemungkinan untuk memperoleh anugerah dan pengampunan Tuhan. Buku harian Augustinus menunjukkan bahwa manusia seringkali tersesat dalam kebingungan batin, tetapi Tuhan selalu menyediakan jalan untuk kembali, asal kita bersedia untuk datang dengan hati yang terbuka dan penuh penyesalan. Dengan demikian, Confessions mengajarkan kita bahwa perasaan manusiawi, betapapun gelapnya, bukanlah akhir dari segala hal. Sebaliknya, melalui pertobatan dan pengakuan yang jujur, kita bisa menemukan kembali kedamaian yang hanya bisa diberikan oleh Tuhan. Buku harian dapat bertransformasi menjadi sarana pembelajaran dan pencerahan spiritual, menyentuh hati untuk merenungkan hubungan antara manusia, Tuhan, dan keselamatan seperti yang ditulis Agustinus dalam Confessionesnya.

Tag