
BUKU HARIAN DAN CONFESSIONESNYA SANTO AGUSTINUS
(K. Ukat)
Buku harian merupakan sebuah catatan pribadi yang
biasanya berisi pemikiran, perasaan, pengalaman, dan kejadian-kejadian dalam
kehidupan sehari-hari seseorang. Buku harian seringkali ditulis secara rutin,
dan dapat mencakup berbagai hal mulai dari hal-hal kecil yang terjadi dalam
hidup seseorang hingga perasaan atau refleksi mendalam mengenai kehidupan,
hubungan, atau peristiwa penting. Gordon Allport, seorang psikolog terkenal,
dalam bukunya Personality: A Psychological Interpretation mengaitkan
penulisan buku harian dengan ekspresi diri dan pengembangan kepribadian.
Allport berpendapat bahwa buku harian adalah salah satu cara seseorang
menjelaskan dan merefleksikan pengalaman pribadinya, yang memungkinkannya memahami
identitas dan proses psikologisnya dengan lebih baik. Allport menyatakan bahwa “Penulisan pribadi adalah salah satu cara untuk
mengorganisir dan memahami perasaan serta pikiran yang bergejolak dalam diri
individu.” Hal senada, diungkapkan oleh John Dewey, filsuf Pendidikan, yang
mengaitkan refleksi dalam pembelajaran. Dewey mengatakan, “Reflective
thought, in which one evaluates and reconsiders one's own experiences, is an
essential process of learning” (Pemikiran reflektif, di mana seseorang
mengevaluasi dan mempertimbangkan kembali pengalaman dirinya, adalah proses
yang penting dalam pembelajaran).
Santo Agustinus, filsuf sekaligus teolog Kristen
Barat dalam bukunya Confessiones mengisahkan pengalaman hidupnya yang berisi refleksi
spiritual dan teologis yang mendalam. Kisah hidup dan pengalamannya tentang
perjalanan hidupnya, pergumulannya dengan dosa, dan pencarian akan Tuhan.
Selain cerita tentang hidupnya, Agustinus merenungkan masalah-masalah mendalam
mengenai dosa, rahmat Tuhan, kehendak bebas, waktu dan pencarian kebenaran.
Melalui Confessions yang ditulisnya pada
tahun 397-400 M dan terdiri dari 13 bagian itu, Agustinus
memperlihatkan kedalaman spiritualitas dan pemikirannya yang memengaruhi banyak
orang di masa lalu dan masih relevan hingga kini. Sama seperti buku harian, Confessions merupakan catatan pribadi
Agustinus yang berisi pengakuan mengenai kehidupannya, perjalanan rohaninya,
dan pengalaman emosional yang ia rasakan. Agustinus mengungkapkan dengan jujur
tentang masa lalunya, dosa-dosanya, pergumulan batin dan pertobatannya, yang
mirip dengan menulis buku harian untuk mencatat pemikiran dan perasaan pribadi.
Dalam buku harian, seseorang menulis untuk mendapatkan pencerahan dan
pengertian lebih dalam tentang dirinya sendiri. Begitu pula dalam Confessions, Agustinus menggunakan narasi
pribadinya sebagai sarana untuk belajar tentang dirinya dan untuk mencari
hubungan yang lebih dekat dengan Tuhan.
Secara umum, tujuan dari buku harian adalah untuk
memberikan ruang bagi penulisnya untuk mengungkapkan diri tanpa takut dihakimi
atau dilihat orang lain. Ini bisa menjadi cara untuk mengelola emosi, memproses
pengalaman, atau sekadar mencatat peristiwa penting agar tidak terlupakan.
Dalam banyak kasus, buku harian digunakan sebagai alat untuk refleksi diri,
membantu penulis untuk memahami dirinya lebih baik dan mengembangkan kesadaran
diri. Buku harian bisa berbeda-beda bentuknya, ada yang ditulis tangan dalam
buku fisik, ada juga yang ditulis secara digital menggunakan aplikasi atau
platform online. Terlepas dari bentuknya, yang menjadi inti dari buku harian
adalah kejujuran dan kebebasan untuk mengekspresikan pikiran serta perasaan
dengan cara yang paling pribadi dan bebas.
Dalam Confessions
yang ditulis Santo Agustinus, kita mendapati sebuah refleksi spiritual yang
sangat jujur mengenai perasaan manusiawi yang kompleks dan seringkali
bertentangan. Buku harian, dalam pandangan Augustinus, bukan sekadar tempat
mencatat kejadian-kejadian luar biasa, tetapi menjadi ruang bagi pergulatan
batin yang mendalam dan penuh keraguan. Dalam setiap lembar yang ditulis, Agustinus
tidak hanya mengungkapkan momen-momen penuh kegembiraan atau pencerahan, tetapi
juga kegelapan hati yang menandai pencarian spiritualnya. Sebuah pencarian yang
melibatkan emosi-emosi yang sangat manusiawi, seperti marah, kecewa, takut,
cemburu, egoisme, dan bahkan ketidakmampuan untuk menghargai jasa orang lain. Salah
satu tema utama yang muncul dalam Confessions
adalah kekuatan dan dampak dari emosi negatif yang seringkali menguasai
kehidupan manusia. Seperti yang dicatat oleh Augustinus, manusia memiliki
kecenderungan untuk marah dan merasa tersinggung oleh hal-hal kecil yang pada
akhirnya mencerminkan ketidaksempurnaan hati. Dalam Confessions, ia menulis, “Aku
marah kepada mereka yang menyinggungku, tetapi aku tidak melihat bagaimana aku
telah menyakiti orang lain” (Buku II, Bab 4). Di sini, Augustinus
mengungkapkan dengan jelas, bahwa kemarahan yang berasal dari hati yang penuh
kebanggaan dan egoisme bisa mengaburkan penglihatan seseorang terhadap
dosa-dosa sendiri, sementara dengan mudah melihat kesalahan orang lain.
Kecewa dan takut, dua perasaan yang sangat
manusiawi, juga menghiasi perjalanan hidupnya. Ketika Agustinus mengakui bahwa
ia merasa tersesat dan bingung dengan jalan yang harus ditempuh, ia menulis, “Engkau adalah kebenaran yang tak terjangkau, tetapi
aku mencari-Mu di tempat yang salah, dan aku kecewa karena tidak menemukannya”
(Buku IV, Bab 8). Dalam pengakuannya, kita dapat merasakan betapa dalamnya
kekecewaan yang datang dari perasaan kehilangan arah, dan betapa ketakutan akan
masa depan mengisi ruang pikirannya. Kecewa terhadap dirinya sendiri dan takut
akan akibat dari jalan yang salah seringkali membuat seseorang merasa
terisolasi dan jauh dari kasih Tuhan. Namun, perasaan kecewa dan takut tersebut
hanya bagian dari gambaran yang lebih besar. Augustinus juga merasakan rasa
cemburu, terutama dalam hubungan-hubungan sosial dan spiritual. Ia menulis, “Aku cemburu terhadap orang-orang yang tampaknya
hidup dengan damai tanpa Tuhan, meskipun aku tahu bahwa mereka berada dalam
kebohongan dan kegelapan” (Buku V, Bab 13). Perasaan cemburu ini
mencerminkan kedalaman keraguannya, betapa kadang-kadang godaan duniawi bisa
menarik hati manusia, dan perasaan tersebut dapat memanifestasikan diri dalam
kecemburuan terhadap kehidupan orang lain, meskipun pada kenyataannya, mereka
belum menemukan kedamaian sejati.
Sebagai manusia, Augustinus juga tidak luput dari
egoisme dan kesombongan. Dua kelemahan ini seringkali menyelimuti hati. Ia
menulis tentang keinginan untuk dipuji, bahkan dalam hal-hal kecil sekalipun, termasuk
keinginan untuk diakui oleh orang lain. Hal tersebut mengarahkan dirinya untuk
mencari kebahagiaan di luar dirinya, alih-alih menemukan kedamaian dalam Tuhan.
“Aku ingin menjadi lebih baik, tetapi aku
juga ingin dilihat lebih baik oleh orang lain. Aku mendambakan pujian yang
tidak layak aku terima” (Buku VII, Bab 5). Di sini, kita melihat
Augustinus yang terjebak dalam dilema antara pengakuan eksternal dan
kebahagiaan sejati yang datang dari kesatuan dengan Tuhan. Kesombongan ini bukan
hanya tentang menginginkan pujian, tetapi juga tentang menutupi
ketidaksempurnaan dirinya dengan topeng kesuksesan. Selain itu, ada juga
pergolakan yang lebih mendalam mengenai pengabaian terhadap jasa orang tua,
sebuah tema yang sering muncul dalam perjalanan pertobatannya. Dalam Confessions,
ia mengakui, “Aku pernah melupakan semua
pengorbanan ibuku, yang selalu berdoa untukku, dan aku tidak pernah menghargai
kasihnya yang tak terhingga” (Buku IX, Bab 10). Ada pengakuan yang
tulus tentang kesombongan dan egoisme membuatnya lupa akan segala jasa dan
kasih sayang orang tua, padahal sesungguhnya adalah anugerah terbesar dalam
hidupnya. Betapa banyak dari kita yang mungkin merasa terasing dari kasih orang
tua atau menganggapnya sebagai hal yang biasa, tanpa menyadari bahwa kasih orang
tua merupakan saluran pertama yang menghubungkan kita dengan Tuhan.
Tidak jarang, dalam keputusasaan dan
kebingungannya, Augustinus menangis. Menangisnya Agustinus, bukan hanya untuk
dosa-dosanya tetapi untuk kerinduannya akan Tuhan. Dalam Confessions,
ia menulis, “Air mataku adalah kesaksian
hatiku yang terluka. Aku menangis bukan karena duka duniawi, tetapi karena aku
merasa jauh dari-Mu, Tuhan” (Buku X, Bab 22). Tangisan ini
mencerminkan kedalaman keresahan batinnya yang sangat manusiawi. Ketika
seseorang merasa tersesat atau terpisah dari Tuhan, tangisan menjadi cara untuk
mengungkapkan perasaan itu, sebagai bentuk pengakuan bahwa hanya Tuhan yang
dapat memberikan kedamaian sejati yang dicari. Augustinus mengungkapkan segala
bentuk ketidakpastian dan keraguan yang ada dalam dirinya, Confessions juga menawarkan suatu bentuk
pemulihan dan harapan. Meskipun ia penuh dengan emosi yang mungkin dianggap negatif
seperti marah, cemburu, egois, atau bahkan lupa akan jasa orang tua, bukunya
ini pada akhirnya membawa pembaca kepada kesadaran bahwa Tuhan menerima
pengakuan dosa, kesedihan, dan ketidaksempurnaan manusia. Dalam sebuah bagian,
Augustinus menyatakan, “Tuhan, Engkau tidak
menginginkan korban dari darah, tetapi sebuah hati yang patah dan tertekan.
Engkau mendengarkan tangisan hati kami” (Buku X, Bab 27). Ini
mengingatkan kita bahwa Tuhan tidak menginginkan kesempurnaan dari kita, tetapi
sebuah kerendahan hati untuk mengakui segala kekurangan dan menyerahkan diri
kepada-Nya.
Melalui pengakuan Augustinus yang jujur dengan perasaan-perasaan
manusiawi yang rumit ini, Confessions
mengajak kita untuk merenungkan bahwa meskipun kita diliputi dengan aneka perasaan
negative, semuanya itu tidak menutup kemungkinan untuk memperoleh anugerah dan
pengampunan Tuhan. Buku harian Augustinus menunjukkan bahwa manusia seringkali
tersesat dalam kebingungan batin, tetapi Tuhan selalu menyediakan jalan untuk
kembali, asal kita bersedia untuk datang dengan hati yang terbuka dan penuh penyesalan.
Dengan demikian, Confessions
mengajarkan kita bahwa perasaan manusiawi, betapapun gelapnya, bukanlah akhir
dari segala hal. Sebaliknya, melalui pertobatan dan pengakuan yang jujur, kita
bisa menemukan kembali kedamaian yang hanya bisa diberikan oleh Tuhan. Buku
harian dapat bertransformasi menjadi sarana pembelajaran dan pencerahan
spiritual, menyentuh hati untuk merenungkan hubungan antara manusia, Tuhan, dan
keselamatan seperti yang ditulis Agustinus dalam Confessionesnya.
Tag
Berita Terkait

Tag
Arsip
Kue Pelangi Menakjubkan Terbaik
Final Piala Dunia 2022
Berita Populer & Terbaru


Jajak Pendapat Online
