• Hari ini: June 23, 2025

MENJADI KATEKIS DI ERA 5.0

23 June, 2025
66

MENJADI KATEKIS DI ERA 5.0

Transformasi Pewartaan Iman di Tengah Revolusi Digital

(Marsiana Dalmasia Mau)


Pendahuluan

    Dunia sedang berubah dengan cepat. Perkembangan teknologi telah mengubah wajah peradaban manusia, dan kita kini berada dalam Era Society 5.0, suatu fase pasca revolusi industri 4.0 yang menempatkan manusia sebagai pusat dari inovasi berbasis teknologi. Di tengah kemajuan ini, Gereja pun tidak luput dari tantangan dan peluang zaman. Pewartaan iman tidak lagi hanya berlangsung di ruang kelas katekese atau mimbar gereja, melainkan juga merambah ruang-ruang digital, tempat generasi baru berdiam dan bersuara.

    Dalam konteks ini, peran seorang katekis perlu mengalami transformasi mendalam. Katekis tidak bisa lagi hanya mengandalkan metode pedagogis tradisional atau pendekatan verbalistik. Pewartaan kini ditantang untuk bersuara dalam algoritma media sosial, menjelma dalam visualisasi video pendek, dan hadir dalam notifikasi harian ponsel umat. Lantas, bagaimana menjadi katekis yang relevan, otentik, dan efektif di era 5.0?

Transformasi DIgital: Antara Peluang dan Tantangan

    Era 5.0 membuka ruang baru bagi katekis untuk menjangkau umat yang lebih luas melalui medium digital. Media sosial, podcast rohani, aplikasi katekese, hingga kanal YouTube menjadi ladang baru pewartaan. Bahkan, umat di daerah terpencil, kaum difabel, atau mereka yang teralienasi secara sosial dapat kembali merasakan kehadiran Injil berkat teknologi.

    Namun, kemajuan ini juga menimbulkan paradoks. Di satu sisi, teknologi memperluas akses; di sisi lain,  membawa risiko distorsi pesan dan kedangkalan refleksi. Dunia digital seringkali memproduksi ilusi relasi, menciptakan ruang keagamaan yang cepat viral tetapi dangkal spiritual. Di tengah derasnya informasi dan hoaks, bagaimana katekis dapat menyuarakan kebenaran yang membebaskan?

    Seperti yang dinyatakan oleh Paus Paulus VI dalam Evangelii Nuntiandi, "Cara-cara baru komunikasi sosial dapat menjadi jalan bagi pewartaan Injil, tetapi hanya jika digunakan dengan kebijaksanaan dan didasarkan pada nilai-nilai kebenaran serta kasih"(EN, 45).

Tantangan Nyata bagi Katekis di Era Digital

    Setidaknya ada empat tantangan besar yang dihadapi katekis saat ini. Pertama, banjir Informasi dan Hoaks. Dunia digital penuh dengan informasi yang tidak tervalidasi. Umat bisa dengan mudah terjebak dalam ajaran sesat, sinkretisme, atau pandangan ekstrem yang disebar secara luas. Kedua, ketimpangan akses teknologi. Tidak semua umat memiliki kemampuan dan sarana mengakses teknologi. Ketimpangan digital ini menciptakan jurang baru dalam pelayanan pastoral. Ketiga, berjaraknya interaksi personal. Relasi personal menjadi makin lemah. Komunikasi lewat layar tidak selalu mampu menggantikan sentuhan kemanusiaan yang penuh kasih dan empati. Keempat, etika dan keaslian digital. Kerap kali muncul dilema, apakah konten digital yang viral juga bermutu dan membangun iman? Bagaimana menjamin keaslian dan kesetiaan pewartaan di ruang maya?

Strategi Kreatif Pewartaan Injil

    Menghadapi tantangan ini, katekis perlu bersikap proaktif dan inovatif. Beberapa strategi berikut bisa menjadi jembatan antara tradisi dan teknologi. Pertama, evangelisasi media sosial. Facebook, Instagram, TikTok, dan YouTube dapat menjadi sarana pewartaan kreatif. Konten singkat yang padat makna, renungan visual, dan kisah inspiratif dapat menjangkau generasi digital yang haus makna. Kedua, pendekatan hybrid. Kelas katekese tidak harus berhenti ketika pandemi atau kesibukan menyerang. Metode daring-luring bisa dikombinasikan agar fleksibel namun tetap membangun komunitas. Ketiga produksi materi visual-interaktif. Aplikasi Alkitab, video animasi ajaran Gereja, dan podcast mingguan dapat menarik minat generasi muda yang lebih visual dan auditori. Keempat, kolaborasi dengan influencer Kristen. Menggandeng tokoh-tokoh rohani di media sosial dapat memperluas jangkauan dan memperkuat narasi Injil dalam arus percakapan publik.

    Seperti diungkap dalam Redemptoris Missio, "Gereja harus hadir dalam dunia komunikasi modern, bukan hanya sebagai pengguna tetapi sebagai saksi yang membawa kebenaran Injil ke dalamnya" (RM, 37)

Menjaga Jiwa Tradisi di Tengah Inovasi

    Teknologi hanyalah alat. Jantung pewartaan tetaplah kasih. Karenanya, katekis tidak boleh larut dalam euforia digital hingga kehilangan sentuhan manusiawi. Injil bukan sekadar informasi. Injil adalah transformasi. Maka, pendekatan personal, empati, kesabaran, dan kesaksian hidup tetap menjadi fondasi pewartaan. Christus Vivit mengingatkan kita, "Jangan pernah takut untuk membawa Injil ke dalam dunia digital. Namun ingatlah bahwa pewartaan sejati selalu berakar pada hubungan pribadi yang nyata" (CV, 86).

    Katekis perlu menjadi penghubung antara dunia maya dan dunia nyata, mengajak umat dari layar menuju perjumpaan, dari suara digital menuju relasi yang menyentuh hati.

Peran Gereja: Menjadi Fasilitator Pewartaan Digital

    Gereja sebagai komunitas harus mendukung peran katekis di era baru ini, bukan hanya secara spiritual tetapi juga teknis dan struktural. Hal ini dapat diwujudkan melalui: pendidikan dan pelatihan digital bagi para katekis, penyediaan sarana teknologi di paroki, pembentukan tim evangelisasi digital, penyadaran umat tentang literasi digital.

    Beberapa contoh praktik baik dapat dilihat dalam proyek-proyek seperti: Word on Fire oleh Uskup Robert Barron di AS, komunitas daring Katolisitas.org yang menyediakan katekese berkualitas tinggi, akun media sosial resmi Paus Fransiskus yang aktif menjadi saksi digital kasih Allah.

Refleksi Pribadi: Ketekis sebagai Penjaga Cahaya di Era Siber

    Sebagai mahasiswa teologi dan calon katekis, saya memahami bahwa menjadi katekis di era 5.0 bukanlah perkara mudah. Dunia berubah, umat berubah, dan metode pun berubah. Namun, satu yang tidak boleh berubah adalah semangat pelayanan dan kesetiaan pada Kristus.

    Pewartaan bukan hanya tugas fungsional, melainkan panggilan hidup. Maka, saya mengajak semua rekan katekis untuk: terbuka terhadap teknologi, bersedia belajar terus-menerus, tetap rendah hati di hadapan misteri iman, dan menjadi cahaya kecil yang menuntun umat di tengah dunia yang serba cepat dan gelap ini.

Kesimpulan

    Menjadi katekis di era 5.0 berarti menjadi jembatan antara tradisi dan inovasi, antara iman dan teknologi, antara Allah dan manusia digital. Dunia boleh berubah, tetapi Amanat Agung Kristus tetap sama, "Pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku, dan babtislah mereka dalam nama Bapa, dan Anak, dan Roh Kudus"

    Mari kita jawab panggilan ini dengan semangat baru dan kreativitas digital. Dengan mengintegrasikan kasih dan kebijaksanaan, katekis masa kini dapat menjadi nabi di dunia maya dan rasul di tengah algoritma, mewartakan Injil yang hidup bagi dunia yang haus akan harapan dan kebenaran. (J2LME)