• Hari ini: November 07, 2025

MARIA, BIFE AMASAT PAH METO: WAJAH CANTIK ALLAH DI TANAH YANG KERING

07 November, 2025
150

 

Di tanah Timor yang kering, berbatu, dan penuh cerita, tanah tempat suku Atoni Pah Meto berakar, umat Paroki Santo Yohanes Pemandi Naesleu menyalakan devosi mereka kepada Bunda Maria dengan cara yang begitu hangat dan khas. Sepanjang bulan Rosario, arca Bunda Maria berkeliling dari satu lingkungan ke lingkungan lain, bukan sekadar sebagai tradisi, tetapi sebagai perjumpaan rohani yang hidup. Sejak arca Bunda Maria keluar dari Gereja Naesleu, hingga masuk kembali di akhir bulan Oktober 2025, di setiap lingkungan, selalu disambut dengan doa dan nyanyian yang lembut serta tarian, lalu diselimuti dengan kain tenun Atoni Pah Meto, hasil karya tangan perempuan yang penuh doa dan makna. Setiap helai benang yang melingkari arca kudus ini, seolah mengisahkan cinta dan iman yang telah ditenun dari generasi ke generasi.

Dalam kekayaan simbolik itu, umat Naesleu memanggilnya dengan gelar yang sarat rasa hormat dan kasih: Bife Amasat Pah Meto, Perempuan Cantik dari Tanah Kering. Sebuah nama yang bukan hanya menggambarkan keelokan rupa, tetapi menyingkap keindahan batin, kelembutan hati, dan keteguhan iman Maria di tengah realitas tanah yang keras. Di balik gelar itu, umat melihat cermin dirinya sendiri: kesetiaan yang tetap menyala meski didera panas dan debu kehidupan, dan kasih yang terus berakar di tanah yang tampak tandus, namun penuh rahmat.


 

1. Bife Amasat: Keindahan yang Menyala dari Hati

Dalam bahasa Atoni, bife berarti perempuan, sedangkan amasat berarti cantik. Namun kecantikan yang dimaksud bukanlah pesona wajah atau rupa lahiriah, melainkan keindahan batin yang memancar dari kesetiaan, kelembutan, dan kekuatan hati. Itulah sebabnya umat Naesleu menyebut Maria sebagai Bife Amasat, perempuan yang cantik karena hatinya penuh iman, yang tetap bersinar di tengah panas dan debu kehidupan sehari-hari.

Kecantikan Maria ini selaras dengan kesaksian Kitab Suci, “Engkau sungguh cantik, kekasihku, tiada cela padamu” (Kid 4:7). Ayat ini, dalam tradisi Gereja, sering ditafsirkan sebagai gambaran kemurnian dan keanggunan rohani Maria. Para Bapa Gereja, terutama Santo Ambrosius, memandang Maria sebagai citra Gereja sendiri, murni dalam tubuh dan roh, serta menjadi teladan ketaatan dan kasih yang sempurna (Ambrosius, De Virginibus; Kidung Agung 4:7; documentacatholicaomnia.eu).

Karena itu, ketika umat Naesleu memanggilnya Bife Amasat, mereka tidak sedang menghias nama Maria dengan pujian, tetapi menyatakan pengalaman iman yang dalam, Maria adalah wajah keindahan yang menguatkan jiwa di tanah yang keras dan kering; pancaran kasih Allah yang memperindah hidup dan meneguhkan harapan di tengah kekeringan dunia.

 

2. Pah Meto: Tanah Kering yang Mendalam Maknanya

Dalam bahasa Atoni, pah berarti tanah atau wilayah, sedangkan meto berarti kering. Namun bagi masyarakat Atoni, Pah Meto bukan sekadar deskripsi geografis tentang tanah tandus di bawah terik matahari. Pah Meto adalah simbol kehidupan itu sendiri. Tanah kering dipandang sebagai aina atau ena (tergantung dialek wilayah), ibu yang menopang, memberkati, dan menumbuhkan eksistensi manusia. Dari tanah ini manusia berasal, dan kepadanya pula manusia kembali. Maka, tanah kering bagi komunitas Atoni bukan hanya tempat berpijak, melainkan ruang relasi spiritual yang menyatukan manusia, leluhur, dan Sang Pencipta dalam kesatuan kosmis yang sacral.

Pandangan dunia Atoni (world-view) selalu menempatkan manusia sebagai bagian dari jalinan relasional yang utuh. Alam, leluhur, dan Tuhan tidak berdiri terpisah, tetapi saling menjiwai dan menghidupi. Ritual-ritual seperti Poitan Liana menjadi ungkapan konkret dari kesadaran ini, bahwa hidup manusia berakar pada hubungan vertikal dengan Tuhan dan horizontal dengan tanah serta leluhur yang mendahului mereka.

Ketika umat Naesleu menyambut arca Bunda Maria dengan menyelimutinya menggunakan selendang, tais dan kain tenun khas Atoni, tindakan itu bukan sekadar ungkapan estetika atau penghormatan simbolik. Dalam tindakan itu, mereka sesungguhnya sedang menenun kembali ikatan antara langit dan bumi, antara dunia ilahi dan dunia manusia. Dalam pelukan kain tenun itu, Maria dihadirkan sebagai Aina atau Ena Pah Pinan, ibu tanah yang merengkuh anak-anaknya dengan kasih, sekaligus jembatan antara dunia roh dan dunia nyata.

Ajaran sosial Gereja memberikan landasan teologis bagi pemaknaan ini. Paus Fransiskus dalam Laudato Si’ No. 241 menegaskan bahwa Maria memiliki tempat yang istimewa dalam relasi antara manusia dan ciptaan; melalui peran keibuannya, ia turut merasakan penderitaan alam dan memeluk seluruh ciptaan dengan kelembutan kasih yang menebus. Dengan demikian, gelar Bife Amasat Pah Meto bukan hanya penghormatan budaya, melainkan pengakuan iman, Maria hadir sebagai penjaga bumi yang gersang, penenun kasih yang memulihkan relasi antara manusia dan tanah, antara ciptaan dan Sang Pencipta.

 

3. Tenun sebagai Ekspresi Teologi Inkarnasi

Dalam budaya Atoni Pah Meto, menenun bukanlah sekadar keterampilan tangan atau kegiatan ekonomi. Menenun merupakan tindakan yang sarat makna spiritual dan sosial. Setiap helai benang yang disilangkan memuat kisah identitas, sejarah keluarga, serta ingatan kolektif komunitas. Motif-motif seperti buna, kait, adalah simbol visual dari kebijaksanaan lokal yang diwariskan antar generasi. Menenun adalah pekerjaan suci para perempuan Atoni Pah Meto, tindakan penciptaan yang menghubungkan dunia yang kasatmata dan yang ilahi.

Ketika kain tenun disampirkan pada arca Bunda Maria, umat Naesleu sesungguhnya sedang melukiskan sebuah pernyataan iman yang mendalam, bahwa Allah sendiri telah “menenun keselamatan” di dalam rahim seorang perempuan. Gambaran ini selaras dengan ungkapan Mazmur, “Engkaulah yang menenun aku dalam kandungan ibuku” (Mzm 139:13), yang menegaskan bahwa kehidupan manusia lahir dari benang-benang kasih dan karya tangan Allah. Dengan demikian, tindakan menghiasi arca Maria dengan tenun lokal menjadi simbol bahwa karya keselamatan Ilahi telah dijalin di tengah budaya dan tanah mereka sendiri.

Dalam terang teologi Kristiani, misteri Inkarnasi dapat dimengerti sebagai “penenunan kasih Allah” ke dalam sejarah manusia melalui rahim Maria. Allah yang tak terbatas rela mengambil bentuk manusia, merajut kodrat ilahi dengan kodrat manusia dalam kesatuan yang tak terpisahkan. Santo Agustinus dalam Sermo 169.11 menegaskan hal ini secara mendalam, “Qui creavit te sine te, non iustificat te sine te” artinya Dia yang menciptakan engkau tanpa engkau, tidak akan menyelamatkan engkau tanpa engkau.” Dalam ungkapan ini, partisipasi manusia, terutama Maria, menjadi jantung dari misteri keselamatan.

Dengan demikian, kain tenun yang melilit arca Maria bukan sekadar perhiasan budaya, tetapi ikon teologis, tanda bahwa karya penyelamatan Allah tidak terjadi di luar manusia dan kebudayaannya, melainkan menjelma di dalamnya. Setiap helai benang menjadi metafora dari Inkarnasi itu sendiri, kasih Allah yang dijalin dalam sejarah manusia, dalam tubuh seorang perempuan, dan kini, dalam warisan budaya Atoni Pah Meto.

 

4. Religiusitas Atoni Pah Meto dan Inkulturasi Gerejawi

Religiusitas Atoni Pah Meto menampakkan wajah iman yang sangat konkret, relasional, dan komunikatif. Iman bukanlah seperangkat konsep abstrak, melainkan pengalaman yang diungkapkan melalui ritus, simbol, dan tindakan bersama. Dalam setiap ritual agraris, mulai dari doa untuk hujan hingga syukur atas panen, terkandung makna sosial, ekologis, dan religius yang memperkuat rasa kebersamaan dan menjaga harmoni antara manusia, alam, dan yang ilahi. Melalui ritus-ritus semacam ini, komunikasi simbolik terjalin, manusia tidak hanya berbicara kepada Tuhan, tetapi juga kepada tanah, leluhur, dan sesama dalam sebuah dialog kosmis yang menyatukan.

Dalam pandangan dunia Atoni, kehidupan manusia selalu dilihat dalam jalinan yang utuh antara Tuhan (Uis Neno), alam, dan komunitas. Segala sesuatu hidup dalam relasi dan saling ketergantungan, tidak ada batas tegas antara sakral dan profan. Karena itu, ketika umat Naesleu menghiasi arca Bunda Maria dengan kain tenun Atoni Pah Meto, tindakan itu bukanlah bentuk sinkretisme atau pencampuran iman yang dangkal, melainkan perwujudan inkulturasi yang sejati. Gereja tidak datang untuk menghapus simbol-simbol lokal, tetapi untuk menanamkan Injil di dalamnya, agar Sabda Allah berakar dalam tanah dan budaya umat.

Semangat inkulturasi ini sangat sejalan dengan ajaran Konsili Vatikan II. Dalam Gaudium et Spes No. 53, para Bapa Konsili menegaskan bahwa budaya manusia adalah wadah tempat iman berakar dan bertumbuh, serta Gereja dipanggil untuk menghormati, memurnikan, dan mengangkat nilai-nilai lokal sebagai sarana pewartaan Injil. Dengan demikian, tindakan umat yang memadukan simbol budaya dalam devosi kepada Maria adalah wujud nyata dari Gereja yang bertumbuh di tanahnya sendiri, Gereja yang mengenakan wajah lokal tanpa kehilangan jantung universalnya.

Paus Yohanes Paulus II dalam Redemptoris Mater No. 46 menegaskan bahwa Maria adalah ikon Gereja dalam peziarahan iman, figur yang mengajar umat untuk membuka diri kepada karya Roh Kudus di tengah sejarah dan kebudayaannya. Ketika dedikasi mariani diinkulturasi dalam bentuk motif tenun, bahasa lokal, dan ritus adat, Gereja sedang melakukan tindakan pastoral yang sah secara teologis, menghadirkan misteri keselamatan dengan bentuk-bentuk yang dapat dirasakan, disentuh, dan dihayati oleh hati umat.

Maka, dalam religiusitas Atoni Pah Meto, inkulturasi bukanlah sekadar strategi budaya, tetapi perjumpaan kasih antara Injil dan tanah, antara sabda ilahi dan kebijaksanaan leluhur. Melalui Bunda Maria, iman itu menemukan bentuknya yang lembut namun kokoh, iman yang berakar di tanah kering, tetapi berbunga di bawah sinar rahmat Tuhan.

 

5. Teologi Sosial dan Martabat Petani Lahan Kering

Mayoritas Atoni Pah Meto di wilayah Timor Tengah Utara hidup dari tanah kering yang menuntut ketekunan, kesabaran, dan solidaritas sosial yang tinggi. Tanah bagi mereka bukan sekadar sumber nafkah, melainkan ruang perjumpaan antara manusia, alam, dan Tuhan. Dalam konteks ini, teologi sosial Gereja terutama dalam Ensiklik Mater et Magistra art. 18-20 memberikan dasar reflektif bahwa kerja manusia di atas tanah merupakan partisipasi dalam karya penciptaan Allah. Enkiklik tersebut menegaskan martabat manusia sebagai pekerja yang mengambil bagian dalam rencana ilahi, bukan sekadar penghasil barang ekonomi, melainkan pelaku cinta kasih sosial yang konkret.

Paus Yohanes XXIII dalam Mater et Magistra menulis bahwa kerja manusia adalah “tanda partisipasi dalam penciptaan ilahi dan perwujudan kasih kepada sesama” (signum participationis in opere divino). Maka, kerja petani lahan kering di Timor dapat dibaca secara teologis sebagai actus caritatis, tindakan kasih yang menyatukan manusia dengan ciptaan dan dengan Allah. Di sini, lahan kering bukan simbol kemiskinan, melainkan locus theologicus, tempat iman diuji dan diwujudkan dalam ketekunan harian.

Dalam terang ensiklik Laudato Si’ No.67, relasi petani Atoni Pah Meto dengan tanah mencerminkan spiritualitas ekologis yang mendalam. Paus Fransiskus menulis, “tanah adalah karunia yang kita terima dari Tuhan, dan setiap bentuk kerja di atasnya adalah tindakan pemeliharaan bersama.” Dalam konteks Timor, para petani membaca tanda-tanda waktu melalui musim kering dan hujan, melalui kesuburan dan kegersangan, sebagaimana mereka membaca kasih Allah yang tersembunyi di balik kesulitan hidup. Teologi sosial yang berpihak kepada petani lahan kering mengundang Gereja untuk tidak hanya berkotbah tentang belas kasih, tetapi juga meneguhkan keadilan ekologis dan keberlanjutan hidup.

Simbol kain tenun yang dikenakan pada patung Bunda Maria selama perjalanan keliling di berbagai lingkungan dalam wilayah Paroki Naesleu menjadi wujud nyata teologi inkarnasional dari kerja dan martabat. Tenun bukan hanya produk estetika, tetapi hasil dari perjuangan perempuan di tanah yang keras. Melilitkan kain tenun pada arca Bunda Maria berarti menghadirkan seluruh jerih payah, doa, dan solidaritas perempuan Timor di hadapan Allah. Kain itu berbicara tentang tangan yang bekerja, tanah yang kering, dan iman yang bertahan. Seperti ditulis dalam studi Obe dan Firmanto, (2020), “kerja tangan petani adalah bentuk doa yang berkelanjutan, doa yang ditenun dalam panas dan debu.”

Dengan demikian, martabat petani bukan sekadar soal sosial-ekonomi, melainkan juga soal teologis dan spiritual. Petani Atoni Pah Meto, dalam menanam di tanah kering, meneladani Bunda Maria yang dengan rendah hati menerima Sabda dan menumbuhkannya dalam kehidupan. Maria, yang berziarah ke setiap lingkungan, tidak hadir sebagai ratu yang jauh, melainkan sebagai ibu (Aina atau Ena) yang memahami jerih payah di ladang kering dan kebun berbatu. Dalam setiap sapaan doa rosario di bawah langit Timor yang kering, umat mengakui bahwa kerja di tanah ini adalah bagian dari mysterium caritatis, misteri kasih yang menghubungkan langit dan bumi.

Inkulturasi devosi mariani dengan simbol-simbol agraris dan tekstil lokal memperlihatkan bahwa iman Katolik di Timor tidak berjarak dari kehidupan riil umat. Sebaliknya, iman itu bertumbuh di antara tanaman jagung yang menguning, di tangan para perempuan penenun, dan di hati para petani yang menatap langit menanti hujan. Teologi sosial yang lahir dari konteks lahan kering seperti ini menjadi teologi yang membumi, meneguhkan manusia dalam martabatnya dan menyingkap wajah Allah yang hadir dalam kerja, peluh, dan ketekunan.

 

6. Kearifan Lokal: Legenda, Konflik, dan Kasih

Kebudayaan Atoni Pah Meto kaya akan kisah, simbol, dan ritual yang mengandung kearifan sosial dan spiritual. Dalam kehidupan masyarakat, legenda-legenda seperti kisah Oepunu tidak sekadar cerita masa lampau, tetapi sarana refleksi moral dan sosial tentang asal-usul relasi manusia, tanah, dan Tuhan. Legenda ini misalnya menggambarkan hubungan yang rapuh namun selalu diupayakan antara dua komunitas yang pernah berseteru namun akhirnya bersatu dalam perdamaian melalui ritual adat. Dalam kerangka ini, kearifan lokal menjadi wahana pendidikan moral dan pembentukan identitas kolektif Atoni Pah Meto, sebuah “kitab hidup” yang mengajarkan rekonsiliasi dan kesetiaan terhadap relasi sosial dan kosmik.

Penelitian etnografi yang dilakukan oleh Liubana dan Nenohai (2020) menegaskan bahwa ritual adat Atoni berfungsi sebagai “komunikasi sosial” dan “teologi kebersamaan,” di mana konflik tidak diatasi melalui kekerasan, melainkan melalui ritus penyatuan (ritual of reconciliation) yang menegaskan kembali relasi kekerabatan. Dalam ritual itu, simbol-simbol seperti bese (pisau) dan sono (sendok) menjadi tanda kesepakatan baru, dari alat pemisah menjadi alat penyatu. Prinsip ini memperlihatkan bahwa kasih dalam konteks Atoni adalah kasih yang berelasi dan membangun kembali keutuhan. Maka, setiap peristiwa perdamaian bukan hanya tindakan sosial, melainkan juga tindakan teologis, kasih yang menebus luka komunitas.

Dalam masyarakat Timor, tenun juga mengandung nilai perdamaian dan pengakuan sosial. Motif tenun yang diberikan sebagai tanda perdamaian antar-kampung atau antar-keluarga mengandung makna bahwa kain menjadi “tubuh sosial” yang menyelimuti luka, mengikat kembali persaudaraan, dan menyatakan kasih dalam bentuk yang nyata. Binsasi (2018) menyebutnya sebagai ritual textile of reconciliation, di mana karya tangan perempuan menjadi sarana komunikasi lintas waktu dan lintas konflik. Maka ketika kain adat melilit patung Bunda Maria, ia tidak hanya memperindah rupa Bunda, tetapi juga menyuarakan narasi rekonsiliasi: Maria hadir sebagai Ibu Perdamaian (Mater Pacis) yang menenun kembali relasi manusia dengan Allah dan sesama.

Dalam terang Kitab Suci, makna rekonsiliasi ini berakar dalam ajaran kasih yang menyembuhkan perpecahan. Rasul Paulus menulis: “Sebab Allah mendamaikan kita dengan diri-Nya oleh Kristus dan telah mempercayakan pelayanan pendamaian itu kepada kami” (2Kor 5:18). Spirit ini hidup dalam budaya Atoni, di mana rekonsiliasi bukan sekadar tindakan hukum, tetapi ritus suci yang menandai pemulihan relasi yang rusak. Dalam konteks pastoral, penghormatan kepada Bunda Maria dengan kain adat menjadi simbol Gereja yang mengakui kearifan lokal sebagai bagian sah dari pewartaan kasih Kristus, Evangelium inculturatum yang berakar di tanah Timor.

Konsili Vatikan II dalam Gaudium et Spes menegaskan bahwa Gereja “menghargai segala hal yang benar, baik, dan indah dalam kebudayaan lokal, karena semuanya berasal dari Roh Kudus yang bekerja dalam sejarah umat manusia” (GS, n. 44). Maka, pengakuan terhadap legenda, simbol, dan ritus perdamaian dalam budaya Atoni bukan bentuk kompromi teologis, melainkan penghargaan terhadap Roh yang bekerja dalam sejarah bangsa Timor. Gereja yang memeluk kain adat di tubuh Bunda Maria sesungguhnya sedang memeluk sejarah umat, luka kolektif, dan kerinduan untuk damai.

Dengan demikian, teologi kasih di tanah Timor berjumpa dengan kearifan lokal Atoni Pah Meto dalam satu gerak yang sama, menenun kembali relasi yang rusak, memulihkan luka sosial, dan menghidupkan kembali rasa persaudaraan. Dalam legenda, konflik, dan ritual adat, kasih bukan konsep abstrak, melainkan pengalaman konkret yang dihayati dan diwartakan melalui tubuh budaya. Bunda Maria, yang mengunjungi setiap lingkungan dengan balutan tenun khas Atoni, menjadi ikon kasih yang menyejukkan tanah kering, kasih yang menghidupkan, menyatukan, dan meneguhkan umat di tengah keterbatasan.

 

7. Keindahan Menyelamatkan: Pesan Teologis

Dalam tradisi iman Katolik, keindahan bukanlah sekadar perkara estetika, melainkan wujud nyata dari kebenaran dan kebaikan ilahi. Keindahan rohani Maria sebagai Bife Amasat, perempuan yang elok hati, memancarkan apa yang oleh para teolog disebut sebagai pulchritudo salvifica, yakni keindahan yang menyelamatkan. Dalam diri Maria, umat melihat bukan hanya wajah seorang ibu, tetapi cahaya kasih Allah yang menembus kekeringan hidup dan menumbuhkan harapan di tanah yang gersang. Julukan Bife Amasat Pah Meto yang lahir dari rahim budaya Atoni Pah Meto khususnya yang dilaksanakan oleh umat Paroki Naesleu, dengan demikian menjadi simbol iman yang kontekstual, Allah hadir dalam keindahan yang sederhana, dalam kelembutan seorang ibu, dan dalam kekuatan iman yang bertahan di tengah tanah kering.

Paus Yohanes Paulus II dalam Redemptoris Mater menulis bahwa Maria adalah ikon Gereja dalam ziarah iman, cermin jiwa yang terbuka kepada rahmat dan kebenaran. Keindahannya bukan berasal dari dunia, melainkan dari kesetiaan pada Sabda yang menjelma. Dalam konteks teologi inkarnasi, Maria adalah ruang di mana Verbum caro factum est, Sabda menjadi daging, dan keindahan Ilahi menjelma dalam tubuh manusia. Maka, Bife Amasat bukan hanya gelar kultural, tetapi penegasan teologis tentang bagaimana Allah memilih untuk menampakkan diri melalui yang indah, lembut, dan manusiawi. Bife Amasat adalah keindahan yang mengundang, bukan yang memaksa; keindahan yang membebaskan, bukan yang menindas.

Bagi umat Naeleu, keindahan Maria bukanlah kemewahan visual, melainkan kesetiaan eksistensial. Dalam kerasnya kehidupan di tanah kering (Pah Meto), keindahan berarti keteguhan untuk tetap percaya, bekerja, dan mencintai. Maria menjadi tanda bahwa iman yang indah adalah iman yang bertahan dalam penderitaan, sebagaimana cendana wangi yang hidup di tanah tandus. Dengan menenun kain dan melilitkannya pada arca Maria, umat menyatakan bahwa kasih dan kerja keras adalah persembahan keindahan bagi Tuhan, sebuah bentuk ars divina, seni kehidupan yang menguduskan yang biasa menjadi yang ilahi.

Dari perspektif teologi kontemporer, Paus Fransiskus dalam Laudato Si’ No. 97 menekankan bahwa keindahan ciptaan adalah jalan menuju perjumpaan dengan Allah: “Ketika kita berhenti mengagumi keindahan ciptaan, kita kehilangan kemampuan untuk bersyukur kepada Sang Pencipta.” Maka, Bife Amasat Pah Meto bukan hanya pujian bagi Maria, tetapi pernyataan iman ekoteologis, bahwa di tengah kekeringan bumi, Allah masih menyalakan api kasih yang indah dan menyelamatkan. Maria, sang ibu, menjadi saksi bahwa keindahan sejati tidak musnah dalam keterbatasan, melainkan justru lahir darinya.

Dalam semangat inkulturasi, Gereja di Naesleu dan seluruh Timor Tengah Utara sedang menulis ulang kisah keindahan Maria dalam bahasa budaya sendiri. Keindahan yang mereka rayakan tidak asing atau dipaksakan, tetapi lahir dari pengalaman konkret tentang kasih, kerja, dan harapan. Dalam teologi Atoni Pah Meto, keindahan selalu terhubung dengan relasi, dengan tanah, leluhur, dan Tuhan. Maka, Bife Amasat Pah Meto dapat dibaca sebagai bentuk lokal dari pulchritudo Ecclesiae, keindahan Gereja yang hidup dalam tubuh budaya.

Dengan demikian, keindahan Maria menyelamatkan karena mempertemukan yang ilahi dan yang manusiawi, yang universal dan yang lokal, yang kudus dan yang duniawi. Maria mengundang manusia untuk melihat kembali bahwa kasih Allah selalu hadir dalam keindahan hidup sehari-hari, dalam kerja tangan petani, dalam tenunan perempuan, dalam kesetiaan ibu, dan dalam doa umat di tanah kering. Keindahan ini bukan pelarian dari realitas, tetapi kekuatan untuk mentransformasikannya, sebagaimana Maria, yang dalam keindahan imannya, melahirkan keselamatan bagi dunia.

 

........................

Malam perlahan menua di Naesleu. Angin dari perbukitan Timor membawa aroma tanah kering yang bersatu dengan wangi dupa cendana dan serat kain tenun yang membalut lembut bahu arca Maria. Cahaya lilin menari di wajah Bife Amasat Pah Meto, menciptakan bayangan yang hidup di antara wajah-wajah umat yang bersujud dalam diam. Dalam keheningan itu, doa-doa naik bukan hanya sebagai kata, melainkan sebagai anyaman kasih antara bumi dan surga.

Maria berdiri dan hadir di tengah umatnya bukan sebagai sosok jauh di langit, tetapi sebagai Bife Pah Pinan, ibu tanah dan ibu bumi, yang mengerti getirnya musim kemarau, beratnya ladang berbatu, dan hangatnya solidaritas di antara mereka yang setia berharap. Di balik setiap helai kain tenun yang menyelimutinya, tersimpan kisah perempuan-perempuan Atoni yang menenun hidup dengan kesabaran dan cinta, sebagaimana Maria menenun sejarah keselamatan dengan fiat sucinya “Terjadilah padaku menurut perkataan-Mu” (Luk 1:38).

Bife Amasat Pah Meto menjadi simbol iman yang tidak lahir dari kemewahan, melainkan dari keteguhan, iman yang tumbuh dari tanah keras dan tetap berbuah kasih. Di dalam gelar itu, keindahan dan kesetiaan bersatu, keindahan yang lahir dari penderitaan, dan kesetiaan yang menemukan bentuknya dalam cinta yang melayani. Seperti ditulis Paus Fransiskus dalam Laudato Si’ No. 241, Maria “menjaga dunia yang rapuh dan memeluknya dengan kasih seorang ibu.” Maria hadir di setiap lingkungan dalam wilayah Paroki Naesleu bukan hanya untuk dilihat, tetapi untuk mengajarkan cara mencintai dengan sabar, dengan lembut, dan dengan harapan yang tidak padam.

Ketika patung itu berpindah ke lingkungan lain, yang tertinggal bukan hanya jejak langkahnya, tetapi jejak iman yang hidup. Doa Rosario yang bergema di setiap malam, yang terlontar dari mulut umat mulai dari anak-anak hingga orang dewasa dari berbagai lingkungan menjadi nyanyian kesetiaan yang melampaui waktu. Dalam setiap butir doa dan setiap simpul tenun, umat menyadari bahwa kasih Allah benar-benar telah menjelma dalam budayanya bahwa Maria, Bife Amasat Pah Meto, adalah wajah keindahan Allah yang menyapa tanah kering dengan kelembutan air kehidupan.

Maka dari Naesleu, dari tanah yang keras namun penuh rahmat, bergema pesan abadi bagi seluruh Gereja, bahwa kasih yang ditenun dalam iman dan budaya mampu menyelamatkan dunia. (KU)