• Hari ini: September 07, 2025

GENERASI KINI, DI ERA POST-TRUTH

07 September, 2025
60

 GENERASI KINI, DI ERA POST-TRUTH


Kegiatan pendidikan formal terus menjadi prioritas dalam banyak keluarga, diiringi dengan keberlangsungan ritual yang tak henti digelar, mulai dari pesta pernikahan hingga seremoni adat termasuk kematian. Di balik dinamika tersebut, lahan-lahan warisan terus dilepaskan, satu demi satu berpindah tangan. Penjualan tanah bukan lahir dari kemalasan, melainkan dari desakan hidup yang kian tak proporsional: biaya pendidikan yang melambung, tuntutan sosial dalam pelaksanaan pesta adat, serta beban kolektif dalam momen-momen berkabung dan perayaan keluarga. Warisan tanah yang dahulu menjadi simbol ketahanan ekonomi dan kedaulatan keluarga, kini berubah menjadi sumber likuidasi cepat demi memenuhi kewajiban yang dianggap mendesak dan bermartabat secara sosial.

Ironisnya, pembiayaan pendidikan melalui penjualan aset tanah tidak selalu berbanding lurus dengan terbangunnya etos perjuangan. Gaya hidup konsumtif justru lebih menonjol ketimbang orientasi intelektual atau sosial-transformasional. Prioritas beralih dari pengembangan kapasitas diri menuju pemeliharaan citra sosial. Realitas ini memperlihatkan adanya pergeseran orientasi nilai, dari semangat belajar demi perubahan, menuju pembentukan identitas semu yang dirawat melalui tampilan luar. Dalam konteks ini, pengorbanan generasi sebelumnya tidak diterjemahkan sebagai warisan tanggung jawab, melainkan dimaknai secara sempit sebagai peluang menikmati fasilitas, tanpa refleksi mendalam tentang ongkos sosial dan emosional yang telah dibayar.

Penjualan tanah seringkali tidak lagi mencukupi untuk menjawab kompleksitas kebutuhan ekonomi rumah tangga modern. Dalam kondisi semacam itu, akses terhadap pinjaman mikro berbunga tinggi menjadi solusi semu yang dengan cepat diambil. Koperasi harian dan mingguan, yang dalam konsep awalnya dimaksudkan untuk mendukung solidaritas ekonomi komunitas, berubah menjadi instrumen pemiskinan struktural. Skema peminjaman yang tampak ringan di awal justru menyimpan jebakan bunga majemuk yang tak transparan. Uang sejumlah lima ratus ribu rupiah, misalnya, kerap menuntut pengembalian hingga delapan ratus ribu rupiah dalam hitungan minggu, tanpa ruang negosiasi dan tanpa perhitungan risiko yang adil. Praktik gali lubang tutup lubang pun menjadi keniscayaan. Satu pinjaman digunakan untuk menutup pinjaman sebelumnya, menciptakan lingkaran setan ekonomi rumah tangga yang hanya berputar pada pembayaran bunga dan denda. Produktivitas kerja tidak lagi diarahkan untuk membangun masa depan atau mendukung pendidikan anak, melainkan diarahkan sepenuhnya untuk menyelamatkan cicilan jangka pendek yang terus menumpuk. Energi, waktu, dan martabat keluarga akhirnya tersedot habis oleh sistem ekonomi yang mengandalkan tekanan psikologis dan rasa malu sebagai alat kontrol sosial. Dalam situasi ini, bukan hanya kekayaan yang tergerus, tetapi juga daya hidup, semangat berinisiatif, dan kepercayaan antaranggota komunitas.

Fenomena ini mencerminkan wajah rapuh masyarakat kontemporer di era post-truth, sebuah masa ketika fakta dikaburkan oleh emosi, dan nilai dikalahkan oleh pencitraan. Rasionalitas moral tergantikan oleh pertimbangan impresi, keputusan diambil bukan berdasarkan substansi, tetapi berdasarkan respons publik yang dibangun secara artifisial. Dalam lanskap semacam itu, keyakinan tradisional bahwa pendidikan anak merupakan jalan utama menuju perubahan sosial masih bertahan kuat. Namun, keyakinan tersebut tidak diiringi dengan pemahaman yang memadai terhadap perubahan struktural dalam sistem pendidikan dan ekonomi modern.

Saat ini, dukungan pendidikan dalam bentuk beasiswa, bantuan pemerintah, dan skema keringanan biaya sebenarnya tersedia dalam jumlah signifikan. Institusi negara dan lembaga donor telah menyediakan jalur alternatif yang meringankan beban pembiayaan pendidikan tinggi. Namun kenyataan menunjukkan, pengorbanan keluarga tidak mengalami pengurangan. Sebaliknya, tekanan sosial dan tuntutan gaya hidup justru memperbesar beban secara kultural dan psikologis. Paradoks ini memperlihatkan bahwa yang sedang berlangsung bukan hanya pertarungan antara kemiskinan dan pendidikan, tetapi juga konflik antara nilai dan persepsi, antara martabat yang seharusnya dirawat, dan gengsi yang terus dikejar. Dalam realitas seperti ini, pengorbanan bukan lagi diarahkan untuk menciptakan masa depan yang lebih bermakna, melainkan untuk menjaga ilusi keberhasilan yang tampak dari luar.

Masalah mendasarnya terletak bukan pada akses terhadap fasilitas, melainkan pada cara pandang terhadap hidup dan tanggung jawab. Ketika simbol kemajuan dibatasi pada benda genggam, gaya hidup urban, dan kebanggaan akademik yang lepas dari akar, maka yang lahir adalah generasi yang tercerabut dari realitas konkret. Relasi dengan tanah, alam, dan tradisi berubah menjadi cerita yang asing; keterampilan dasar seperti bertani, memasak sendiri, atau menghormati ritus kampung perlahan terkikis oleh ambisi digital dan euforia kota.

Ketimpangan antara simbol dan substansi kian melebar. Di satu sisi, gelar akademik dikibarkan sebagai pencapaian, di sisi lain, harga yang dibayar oleh keluarga, dalam bentuk lahan terjual, warisan budaya yang dilupakan, dan hubungan antargenerasi yang renggang, tidak dianggap sebagai bagian dari narasi kesuksesan. Inilah ironi kontemporer: pendidikan berhasil membawa tubuh ke kota, tetapi gagal mengakarkan jiwa pada tanah asal. Dalam situasi semacam ini, beasiswa bukan lagi alat pemberdayaan, melainkan bisa menjelma menjadi instrumen pemutusan dari identitas kolektif.

Kesunyian para orang tua bukan pertanda restu, melainkan bentuk paling lirih dari penderitaan. Tatapan mereka yang kosong di beranda rumah adalah puisi luka yang tak terbaca oleh algoritma media sosial. Dalam budaya yang dulu menjunjung tinggi ungkapan “anak adalah kehormatan keluarga,” kini anak berubah menjadi investasi yang belum tentu kembali. Relasi kekeluargaan yang dulunya dibangun di atas rasa hormat dan keterhubungan emosional kini digantikan oleh transaksi singkat, kiriman pulsa, komentar singkat di WhatsApp, atau video call sekali sebulan. Padahal, yang dirindukan bukanlah pemberian, melainkan kehadiran. Bukan transfer uang, melainkan tatap muka yang tulus dan hangat.

Di tengah perayaan digital dan gemerlap identitas online, luka-luka batin di kampung terus bertambah. Rumah-rumah tua berdiri sepi, ladang-ladang ditinggalkan, dan para orang tua menua dalam diam yang panjang. Sementara itu, dunia virtual sibuk menampilkan keberhasilan palsu yang dirayakan dengan emoji, tetapi kosong dari empati sejati. Inilah krisis yang nyata, krisis kasih yang tak bersuara namun merobek nurani. Sebab kasih sejati bukan ditunjukkan lewat unggahan, tetapi lewat pulang yang sungguh, lewat pelukan yang benar, dan lewat keberanian untuk mengingat dari mana hidup pernah dimulai. Jika keadaan ini terus dibiarkan, keberhasilan akademik akan menjadi kulit kosong yang rapuh, indah dilihat, tapi hampa makna. Ketika generasi muda tak lagi tahu cerita di balik sebongkah nasi atau sepotong kayu rumah, maka yang hilang bukan sekadar pengetahuan praktis, tetapi kepekaan eksistensial. Masyarakat akan tumbuh menjadi koloni urban tanpa ingatan, berjalan cepat tanpa arah, cerdas secara teknis namun miskin secara batin. Inilah risiko paling mengkhawatirkan: modernisasi tanpa pendalaman, mobilitas sosial tanpa moralitas sosial.

Tanpa kesadaran akan asal-usul, pendidikan justru bisa menjauhkan manusia dari kemanusiaannya sendiri. Bukannya menjadi sarana pemberdayaan, pendidikan berubah menjadi panggung individualisme yang menumpulkan kepedulian. Sebab, apa gunanya meraih gelar tinggi jika itu membuat seseorang lupa cara menyapa tetangga, lupa bagaimana cara duduk bersila di tanah, lupa rasanya mencium tangan orang tua dengan sepenuh hormat? Ketika akar budaya dicabut demi citra modern, maka lahirlah manusia yang tercerabut dari tanahnya dan tersesat dalam bayang-bayangnya sendiri. Sudah saatnya warisan dipahami bukan sebagai peninggalan benda, tetapi sebagai panggilan jiwa. Tanah leluhur bukan sekadar bidang ukur dalam sertifikat; tanah adalah kitab kehidupan yang mencatat peluh, doa, dan air mata generasi terdahulu. Menjualnya demi gengsi berarti mencabut akar identitas dan menukar kesetiaan dengan kesementaraan. Setiap transaksi yang mengorbankan tanah warisan untuk gaya hidup sesaat merupakan bentuk amnesia kolektif, lupa bahwa tanah itu saksi kesetiaan dan ketekunan yang membesarkan peradaban keluarga.

Bangkit berarti melawan arus konsumtif yang meninabobokan kesadaran. Bangkit berarti menolak hidup sekadar sebagai pengguna, dan memilih menjadi penjaga. Bangkit berarti berani hidup sederhana demi martabat, bukan bermewah-mewah demi pengakuan palsu. Tanpa kesadaran ini, generasi berikut hanya akan berdiri di atas puing, bukan di atas fondasi kokoh yang diwariskan oleh keteguhan para pendahulu. Kini, arah sejarah ditentukan oleh keputusan generasi muda, menjadi penerus nilai atau pelupa jejak. Sejarah tidak bersifat netral. Jejak yang dijaga akan melahirkan harapan, sedangkan nilai yang dijual akan meninggalkan kehampaan. Maka, satu hal menjadi terang: masa depan tidak dibeli dengan gengsi, melainkan dibangun dengan kesetiaan. (KU)