
Fenomena mahasiswa yang menjalani kehidupan kampus dengan santai, gemar bersenang-senang, aktif berpesta, bahkan menerima beasiswa, tetapi kemudian terhambat saat harus menulis karya ilmiah, bukanlah pemandangan baru dalam dunia akademik. Walaupun demikian, kerinduan untuk segera mengenakan toga wisuda dan menggenggam ijazah S1 tetap membara. Pertanyaan kritis pun muncul: faktor apa yang sebenarnya menjadi batu sandungan utama?
Sejumlah penelitian menegaskan bahwa hambatan terbesar bukan terletak pada aspek teknis semata, melainkan pada dimensi psikologis. Inda Yani, Suyadi, dan Ridho Praja Dinata (2020) misalnya, menunjukkan bahwa self-esteem, motivasi, dan kecemasan berkontribusi jauh lebih besar dalam menghambat penyelesaian skripsi dibanding faktor sosio-kultural atau linguistik (JELT, jelt.unbari.ac.id ). Artinya, di balik kesan hidup santai, mahasiswa kerap rapuh secara mental ketika berhadapan dengan tuntutan akademik yang menuntut ketekunan tinggi.
Penelitian lain menguatkan hal serupa. Muh Daud dkk. (2023) menemukan bahwa grit (ketekunan) dan self-efficacy (keyakinan pada kemampuan diri) berperan signifikan dalam pencapaian prestasi akademik. Bahkan, self-efficacy terbukti mampu mereduksi dampak stres akademik secara signifikan (Psikohumaniora: Jurnal Penelitian Psikologi, Walisongo Journal). Dengan kata lain, mahasiswa yang percaya pada kapasitasnya dan memiliki daya juang tinggi akan lebih mampu bertahan menghadapi tekanan penelitian, termasuk dalam menulis skripsi.
Hal ini sejalan dengan temuan Zalfa Armiah Khusniyah dan Febti Ismiatun (2021) dari UIN Antasari. Mereka menegaskan bahwa kesulitan menyelesaikan skripsi tidak hanya terkait keterampilan bahasa atau aspek teknis, tetapi juga menyangkut sikap terhadap penulisan ilmiah. Banyak mahasiswa lebih fokus pada aktivitas sosial, organisasi, atau hiburan pribadi, namun kurang serius menumbuhkan disiplin akademik dan keterampilan menulis (LET Journal, jurnal.uin-antasari.ac.id ).
Lebih tajam lagi, Nabila Nur Amalia dan Hariswan Putera Jaya (2024) melalui penelitian di Universitas Sriwijaya menemukan bahwa hambatan psikologis mencapai 92,9% dibanding faktor lain seperti keterbatasan referensi, kebiasaan belajar, dukungan pembimbing, hingga kondisi kesehatan (International Journal of Language Education and Cultural Review, UNJ Journal, journal.unj.ac.id ). Data ini mempertegas bahwa kelemahan internal (mental, motivasi, dan manajemen diri) lebih menentukan daripada faktor eksternal.
Dari keempat penelitian tersebut, teranglah bahwa problem menulis ilmiah lebih erat kaitannya dengan kondisi psikologis, motivasi, dan daya juang mahasiswa, ketimbang keterampilan teknis. Mahasiswa yang bercita-cita meraih ijazah S1 perlu belajar mengatur keseimbangan, tetap menikmati kehidupan kampus, tetapi disertai dengan disiplin diri, kepercayaan diri yang kokoh, dan daya tahan untuk menghadapi tekanan akademik yang tak terelakkan.
Wisuda dan ijazah memang menjadi tujuan akhir yang diidamkan hampir setiap mahasiswa. Namun, tanpa kesiapan mental, daya juang, dan sikap akademik yang serius, impian tersebut mudah kandas di tengah jalan. Oleh karena itu, perguruan tinggi perlu menyediakan dukungan psikologis dan akademik yang memadai, sementara mahasiswa dituntut untuk membangun mental tangguh dan mengubah gaya hidup yang terlalu santai menjadi lebih seimbang antara kesenangan, tanggung jawab akademik, dan komitmen menulis.
Ijazah pada akhirnya tidak hanya sebatas lembaran formal yang menandai kelulusan, melainkan jejak perjuangan intelektual sekaligus bukti kematangan jiwa. Mereka yang berani menempuh jalan penuh disiplin dan menjaga daya tahan batin akan lebih siap menuangkan gagasan secara jernih, membuka diri pada kritik, dan akhirnya menggapai gelar akademik yang menjadi cita-cita.
Terima kasih Celsi, telah memberikan pelajaran tentang mental, daya juang, dan sikap akademik yang serius menuju wisuda S1, meski hayatmu singkat dilumat ajal sebelum mengecap masa panjang usai wisudamu. Seperti yang dikatakan John Dewey, “Education is not preparation for life; education is life itself” (Pendidikan bukanlah persiapan untuk hidup; pendidikan itu sendiri adalah hidup). (KU)
Tag
Berita Terkait

LEBENSWELT TABUA: KOSMOLOGI KEBERSAMAAN ATONI PAH METO DALAM CERMIN FENOMENOLOGI ALFRED SCHUTZ

Tag
Arsip
Kue Pelangi Menakjubkan Terbaik
Final Piala Dunia 2022
Berita Populer & Terbaru



Jajak Pendapat Online
