• Hari ini: June 23, 2025

PERAN MEDIA DALAM MEMBENTUK IMAN GENERASI MUDA MELALUI KATEKESE: PELUANG DAN TANTANGAN

23 June, 2025
54

PERAN MEDIA DALAM MEMBENTUK IMAN GENERASI MUDA MELALUI KATEKESE: PELUANG DAN TANTANGAN
Yuliana Tay Bui

    

Pendahuluan

    Transformasi digital telah memengaruhi hampir seluruh aspek kehidupan manusia, termasuk cara individu memahami dan menghidupi imannya. Generasi muda, dikenal sebagai digital natives, hidup dalam dunia yang ditandai oleh akses informasi yang cepat, komunikasi instan, dan budaya visual yang kuat. Dalam konteks ini, media bukan lagi sekadar alat bantu, melainkan menjadi ruang hidup baru bagi pengalaman religius.

    Katekese, sebagai proses pengenalan dan pendalaman iman dalam tradisi Gereja, memiliki peran vital dalam membentuk identitas kristiani. Namun, pendekatan katekese tradisional yang bersifat satu arah dan tekstual seringkali tidak mampu menjangkau dinamika psikologis, sosiologis, dan budaya anak muda zaman kini. Oleh karena itu, perlu suatu paradigma baru yang melihat media sebagai mitra dalam pelayanan katekese, bukan sebagai ancaman semata. Sebagaimana dikemukakan oleh Bunnell (2017), “Religious education today cannot ignore the media, for it is in the media that young people now construct their worldviews.”

Peluang Media dalam Katekese

1. Aksesibilitas dan Distribusi yang Luas

    Salah satu kekuatan media digital adalah kemampuannya menyebarluaskan informasi ke berbagai penjuru dunia dalam hitungan detik. Dalam konteks katekese, hal ini berarti ajaran Gereja dapat diakses oleh siapa saja tanpa batas ruang dan waktu. Platform seperti YouTube, Instagram, dan aplikasi Alkitab digital telah membuka ruang baru bagi pewartaan yang inklusif dan mudah dijangkau (Gelfer, 2018). Materi-materi katekese digital dapat menjangkau anak muda yang mungkin tidak terlibat aktif dalam kegiatan gerejawi konvensional, sekaligus memberi mereka kebebasan untuk belajar secara mandiri dan fleksibel.

2. Interaktivitas dan Partisipasi Komunitas

    Media digital memungkinkan hubungan dua arah antara pewarta dan penerima pesan. Generasi muda dapat berdialog, memberikan umpan balik, bahkan menciptakan konten religius mereka sendiri. Interaksi ini membangun sense of belonging terhadap komunitas iman. Misalnya, penggunaan fitur komentar, forum diskusi, dan siaran langsung di media sosial dapat membuka ruang perjumpaan yang lebih hidup dan relevan. Sebagaimana dikatakan McLuhan (2011), “The medium is the message,” artinya media itu sendiri membentuk pola keterlibatan dan pemahaman umat terhadap iman mereka.

3. Kreativitas dan Inovasi dalam Penyampaian Pesan

    Media membuka peluang besar untuk menyampaikan ajaran iman dalam format yang kreatif dan menyentuh. Video animasi, podcast, meme rohani, hingga gamifikasi katekese memungkinkan pewartaan menjadi lebih menarik dan sesuai dengan cara belajar generasi Z. Kreativitas bukan hanya estetika, melainkan jembatan antara pesan Injil dan dunia pengalaman muda-mudi. Di sinilah media berfungsi bukan sekadar sebagai saluran, tetapi sebagai medan evangelisasi baru yang menggerakkan.

Tantangan Penggunaan Media dalam Katekese

1. Paparan Konten yang Tidak Sejalan dengan Iman

    Ketersediaan informasi yang masif juga membawa risiko serius. Generasi muda dapat dengan mudah mengakses konten yang bertentangan dengan nilai-nilai Kristiani, dari relativisme moral, pornografi, hingga ideologi konsumerisme. Ketidaksadaran akan seleksi informasi dapat menciptakan krisis identitas spiritual. Lichterman (2019) mencatat bahwa “The danger of digital religion is not its secularization but its fragmentation and confusion of authority.”

2. Ketergantungan dan Individualisme Digital

    Kecenderungan untuk mengandalkan media sebagai sumber utama kehidupan religius dapat menurunkan peran komunitas dalam pembinaan iman. Ketergantungan pada layar menjauhkan generasi muda dari pengalaman iman yang konkret dalam kebersamaan, doa komunitas, dan pelayanan nyata. Media yang tidak diimbangi oleh relasi interpersonal berisiko menumbuhkan iman yang instan dan dangkal, tanpa kedalaman kontemplatif.

3. Kurangnya Literasi dan Pengawasan Digital

    Tidak semua konten yang mengatasnamakan kekristenan dapat dipertanggungjawabkan secara teologis dan pastoral. Tanpa literasi digital religius, generasi muda bisa tersesat dalam ajaran menyimpang atau pseudo-religius. Gereja, orang tua, dan pendidik ditantang untuk menjadi penuntun yang kritis dan reflektif dalam menavigasi dunia digital. Kateketik digital menuntut bukan hanya keahlian teknis, tetapi juga kedewasaan rohani dalam memilah dan memandu.

Kesimpulan

    Media adalah medan baru bagi pewartaan iman di abad ke-21. Potensinya untuk membentuk dan memperkuat iman generasi muda tidak dapat disangkal, terutama dalam hal aksesibilitas, interaktivitas, dan inovasi penyampaian. Namun, peluang ini tidak datang tanpa tantangan. Media dapat menjadi sarana transformasi spiritual, tetapi juga bisa menjadi medan disorientasi iman apabila tidak disertai pendampingan yang bijaksana.

    Oleh karena itu, perlu langkah strategis yang melibatkan kolaborasi antara Gereja, keluarga, dan sekolah. Pendidikan literasi digital religius harus diperkenalkan sejak dini agar generasi muda mampu menjadi pengguna media yang selektif dan aktif secara spiritual. Para pelayan pastoral juga perlu membekali diri dengan keahlian komunikasi digital dan sensitivitas budaya kontemporer agar pewartaan Injil tetap relevan dan menyentuh hati.

    Di tengah dunia yang terus berubah, iman generasi muda perlu ditanamkan tidak hanya di bangku gereja, tetapi juga di layar mereka, sebab di situlah mereka tinggal, berinteraksi, dan membentuk identitas mereka. (J3LME)