Dari Ruang Kuliah dan Asrama,
Harapan Itu Menyala
Pagi di kampus Sekolah
Tinggi Pastoral Santo Petrus Keuskupan Atambua (STP St. Petrus KA) dimulai
dengan denting lonceng, pertanda sebentar lagi mahasiswa akan mengikuti
Perayaan Ekaristi, di aula yang masih dijadikan sebagai Kapela. Di kapela tersebut,
mahasiswa dan mahasiswi berdiri bersama, menyatukan hati dalam liturgi harian,
sumber spiritualitas yang menjiwai seluruh formasi mereka. Dari sana, mereka
beranjak ke ruang kuliah: bangunan yang tersedia berbagai sarana perkuliahan
mulai dari kursi hingga infokus di setiap ruangan. Di tas setiap mahasiswa pun,
berbagai perlengkapan kuliah disiapkan termasuk Kitab Suci.
Di antara
wajah-wajah yang terkadang ceria dan juga serius, mereka mempelajari berbagai
matakuliah: katekese, pastoral, teologi, ilmu-ilmu pedagogik, Kitab Suci, dan
ilmu-ilmu lainnya. Hal yang menarik dan dominan terlihat, tampak jelas dominasi
perempuan. Mereka datang bukan hanya untuk menimba ilmu, melainkan untuk
menjawab panggilan: menjadi pelayan bagi Gereja dan masyarakat. Setelah kuliah,
mereka kembali ke asrama, tempat hidup komunitas dilatih dalam disiplin dan tanggung
jawab.
Ritme harian di
STP St. Petrus KA membentuk keutuhan pribadi. Ada hari kerja tangan
(Senin–Kamis) untuk merawat lingkungan; hari kreatif dan kategorial
(Selasa–Jumat) untuk mengembangkan bakat rohani dan sosial; serta hari olahraga
(Rabu–Sabtu) untuk menjaga kesehatan jasmani. Kehidupan kategorial juga hidup: THS-THM,
Legio Mariae, dan Kelompok Katekese dan kelompok kategorial lainnya, menjadi
ruang pembinaan iman dan solidaritas sosial.
Tiga jenis
magang: Magang Pastoral (Semester V), Magang Wirausaha (Semester VI), dan Magang
Sekolah (Semester VII), mempertemukan teori dengan praksis, membentuk jiwa
pelayan yang mandiri dan reflektif.
Dengan demikian, STP ini bukan sekadar lembaga pendidikan, melainkan laboratorium kehidupan Gereja yang sinodal. Dalam kesibukan ruang kuliah dan kehidupan doa komunitas, Roh Kudus sedang menenun wajah baru Gereja Indonesia: Gereja yang berjalan bersama, bermisi keluar, dan menabur damai. Sebagaimana ditegaskan Hasil SAGKI 2025 No. 4 dan 21–23, Gereja Indonesia dipanggil untuk bertobat dari struktur yang menutup ruang partisipasi, khususnya bagi perempuan, dan menegaskan bahwa pengalaman serta refleksi iman perempuan adalah “tempat teologis di mana kasih Allah hadir dan bekerja dalam sejarah.”
Maka, ruang
kuliah di STP St. Petrus KA bukan hanya tempat belajar, tetapi ruang eklesial,
di mana harapan Gereja sedang disemai melalui doa, refleksi, dan pengabdian
perempuan muda.
Perempuan: Nyala Harapan Gereja Sinodal
Fenomena meningkatnya jumlah mahasiswi di Sekolah Tinggi Pastoral (STP) di seluruh Indonesia merupakan realitas pastoral yang signifikan dan berdampak luas bagi arah pembaruan Gereja. Data resmi dari Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Katolik, Kementerian Agama RI, melalui publikasi tahunan Statistik Pendidikan Katolik Indonesia menunjukkan bahwa dalam kurun 2020–2022, mayoritas mahasiswa STP di Indonesia adalah perempuan, dengan rata-rata proporsi sekitar dua pertiga dari total populasi mahasiswa nasional.
Tren ini tampak konsisten di berbagai wilayah, dari Atambua, Ruteng, Larantuka, hingga Jayapura, di mana ruang-ruang kuliah pastoral semakin diisi oleh perempuan muda yang mempersiapkan diri menjadi katekis, pendamping pastoral, dan penggerak komunitas basis. Dalam konteks sosial Gereja Indonesia, peningkatan partisipasi perempuan di setiap STP tidak dapat dibaca sekadar sebagai fenomena statistik pendidikan, tetapi sebagai tanda zaman (signum temporis) yang mengandung makna teologis mendalam.
Sebagaimana ditegaskan dalam Gaudium et Spes No. 4, “Umat Allah dipanggil untuk membaca tanda-tanda zaman dalam terang Injil.” Dalam terang ini, meningkatnya jumlah perempuan yang menempuh pendidikan pastoral dapat dilihat sebagai gerak Roh Kudus yang menumbuhkan wajah baru Gereja, wajah yang lebih lembut, solider, dan menyembuhkan. Paus Fransiskus dalam Evangelii Gaudium No. 103 menegaskan, “Gereja perlu kehadiran perempuan yang membawa daya kasih dan kelembutan, yang membantu kita memahami Allah bukan sebagai kuasa yang menundukkan, melainkan kasih yang memulihkan.”
Dengan demikian, kehadiran dominan perempuan di setiap STP, termasuk STP Santo Petrus Keuskupan Atambua, bukanlah kebetulan historis, melainkan bagian dari dinamika Roh yang sedang membentuk wajah Gereja sinodal di Indonesia. Mereka bukan hanya peserta dalam proses akademik, tetapi subjek aktif dalam pembentukan masa depan Gereja yang lebih partisipatif dan misioner.
Membaca SAGKI dari Bangku Kuliah
Dokumen SAGKI 2025 menegaskan tiga pesan pembaruan yang sangat relevan bagi Gereja Indonesia masa kini: Gereja harus keluar dari sistem patriarkal dan budaya diam yang menutup ruang bagi suara perempuan. Suara dan pengalaman perempuan harus diakui sebagai sumber inspirasi teologis dan pastoral. Gereja perlu memberi ruang bagi keterlibatan perempuan dalam pengambilan keputusan dan kepemimpinan pastoral.
Namun, realitas pastoral menunjukkan bahwa jarak antara visi teologis Gereja dan praksis konkret masih terasa nyata. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa perempuan berperan sangat besar dalam pelayanan pastoral Gereja Katolik di Indonesia, dari katekese, pendampingan keluarga, hingga pelayanan liturgi, tetapi keterlibatan itu belum selalu diikuti dengan pengakuan struktural yang sejajar dengan laki-laki.
Menurut Haes (2023), dalam banyak konteks paroki dan keuskupan di Indonesia, “pekerjaan pastoral dalam Gereja Katolik justru paling banyak dijalankan oleh perempuan,” namun mereka masih berhadapan dengan kultur patriarkal yang membatasi ruang kepemimpinan dan pengambilan keputusan. Penelitian ini menegaskan bahwa kampanye kesetaraan gender di Gereja Katolik perlu berangkat dari refleksi iman yang menyadari bahwa martabat perempuan bersumber dari imago Dei, citra Allah sendiri yang ada dalam setiap pribadi.
Sementara itu, Kreuta (2025) melalui kajian tentang gender inclusion dalam pendidikan pastoral berbasis budaya Sentani menyoroti bahwa pendekatan pastoral yang sensitif terhadap konteks budaya lokal menjadi kunci menuju kesetaraan sejati. Ia menulis bahwa pengakuan terhadap pengalaman dan kearifan perempuan dalam konteks budaya lokal justru memperkaya wajah Gereja yang lebih dialogis dan partisipatif.
Temuan-temuan tersebut memperkuat seruan SAGKI 2025 No. 21–23 agar Gereja Indonesia berani bertobat dari sistem patriarkal dan membuka ruang partisipasi penuh bagi Perempuan, bukan sekadar sebagai pelaksana pelayanan, tetapi juga sebagai pengambil keputusan pastoral dan pemimpin rohani. Dengan demikian, sinodalitas Gereja tidak berhenti pada wacana, tetapi menjelma menjadi budaya hidup yang memuliakan martabat baptisan setiap orang tanpa membedakan jenis kelamin.
Pertanyaan profetis pun muncul, “apakah Gereja sungguh siap menerima perempuan bukan hanya sebagai pelayan, tetapi sebagai pemimpin rohani dan misioner?” Sinodalitas sejati bukan sekadar partisipasi simbolis, melainkan perjalanan bersama yang setara dalam Roh. Gereja yang membuka ruang bagi kepemimpinan perempuan bukan kehilangan identitasnya, tetapi justru menemukan kembali wajah Injil yang membebaskan.
STP: Rahim Sinodalitas Baru
Sekolah Tinggi Pastoral, termasuk STP Santo Petrus KA, dapat disebut sebagai rahim sinodalitas baru bagi Gereja Indonesia. Di lingkungan inilah, gagasan sinodalitas tidak berhenti sebagai teori abstrak, melainkan menjadi pengalaman hidup yang nyata. Dalam dinamika belajar dan hidup bersama, mahasiswa, baik laki-laki maupun Perempuan, ditempa untuk berdialog, mendengarkan, dan melayani dalam semangat communio missionaria: persekutuan yang bermisi.
Kurikulum pastoral di STP tidak hanya mentransfer pengetahuan pastoral dan teologis, tetapi membentuk habitus rohani dan kepemimpinan yang berakar pada spiritualitas pelayanan. Setiap matakuliah, rekoleksi, dan kegiatan komunitas menjadi ruang pembelajaran untuk mengintegrasikan iman dengan praksis kasih. Melalui program magang di paroki, sekolah, dan komunitas basis serta tempat-tempat wirausaha, para mahasiswa belajar menghadapi wajah konkret Gereja, umat Allah yang hidup di tengah realitas sosial yang beragam.
Para dosen dan pembina tidak berperan sebagai otoritas yang mendikte, melainkan rekan dialog dalam ziarah iman, sebagaimana ditekankan Dokumen SAGKI 2025 No. 8: “Sinodalitas bukanlah konsep, melainkan spiritualitas yang dihidupi, dimulai dari kesediaan untuk duduk bersama dan mendengarkan.”
Maka, dari rahim STP lahir generasi baru pelayan awam yang tidak hanya memahami teologi dan pastoral secara intelektual, tetapi juga menubuhkannya dalam praksis kasih, dialog, dan kesetiaan pada perutusan. Di sinilah Gereja menemukan kembali wajahnya sebagai persekutuan yang hidup dari kasih Allah dan bergerak menuju dunia, Gereja yang lahir dari proses belajar, mendengarkan, dan berjalan bersama.
Ketika Harapan Itu Bersuara dari Timur
Dari Atambua hingga Jayapura, wajah Gereja Indonesia memantul dalam kehidupan perempuan-perempuan yang setia menjaga iman keluarga dan menghidupi komunitas. Dalam kesederhanaan hidup sehari-hari, di rumah, di ladang, di sekolah, dan di altar, mereka menenun harapan Gereja dengan benang kasih, doa, dan pelayanan. Kesunyian kerja mereka menyimpan kekuatan spiritual yang mendalam: kekuatan yang tidak mencari sorotan, tetapi menyembuhkan dunia dari dalam.
SAGKI 2025 menegaskan bahwa Gereja dipanggil untuk keluar dari pusat menuju pinggiran, ke tempat di mana kasih Allah bekerja secara paling nyata, di antara mereka yang hidup dalam kerentanan dan kesetiaan. Di wilayah Tengah dan timur Indonesia, seperti Nusa Tenggara Timur dan Papua, Gereja menemukan Injil bukan hanya dalam Kitab Suci, tetapi dalam tangan-tangan perempuan yang melayani tanpa pamrih, yang menjahit keseharian menjadi liturgi kasih.
Dari tangan-tangan mereka yang mengajar anak-anak membaca doa pertama, yang menyiapkan altar kecil di rumah, dan yang menenangkan tetangga yang berduka, Gereja belajar arti Injil yang menjelma dalam daging, Injil yang menjadi hidup, bukan hanya wacana.
Perempuan-perempuan muda di STP Santo Petrus KA melanjutkan warisan rohani itu. Mereka bukan hanya belajar tentang kasih, tetapi mempersiapkan diri untuk mewujudkan kasih itu dalam pelayanan konkret. Dalam semangat sinodalitas yang ditegaskan SAGKI 2025, mereka menjadi tanda bahwa Gereja masa depan sedang bertumbuh, Gereja yang menghidupi kasih, bukan sekadar memberitakannya; Gereja yang mendengarkan sebelum berbicara, dan berjalan bersama sebelum memimpin.
Penutup: Menemukan Wajah Kristus yang Baru
SAGKI 2025 menandai babak penting dalam perjalanan Gereja Indonesia, sebuah panggilan untuk semakin menjadi Gereja yang sinodal, misioner, dan berwajah inklusif. Namun arah pembaruan ini hanya akan berakar kuat bila Gereja sungguh berani membuka diri terhadap karunia kepemimpinan perempuan di semua tingkatan pelayanan.
Ketika perempuan diakui bukan sekadar pelaksana karya pastoral, melainkan rekan dalam peneguhan iman dan pembawa visi, Gereja tidak kehilangan identitasnya. Justru di sana Gereja menemukan kembali wajah Kristus yang berbelarasa dan memerdekakan, wajah yang hadir dalam kelembutan, kesetiaan, dan daya penyembuhan kasih. Sebab, seperti diingatkan Paus Fransiskus dalam Katekese tentang Sinodalitas (2022), “Perempuan bukanlah tambahan bagi Gereja, melainkan bagian dari jantungnya. Tanpa perempuan, Gereja kehilangan kemampuannya untuk bermimpi.”
Dari ruang kuliah dan asrama di STP Santo Petrus KA, nyala Roh Kudus terus menyala dalam doa, studi, dan pelayanan. Di sana, lahir generasi baru pelayan awam yang tidak hanya menguasai teori pastoral dan teologi, tetapi menghidupinya sebagai praksis kasih yang nyata. Dari tangan-tangan mereka yang belajar berjalan bersama, Gereja Indonesia menemukan kembali arah langkahnya, menuju wajah Kristus yang manusiawi dan ilahi, lembut namun kuat, inklusif sekaligus membebaskan. (KU)
Tag
Berita Terkait
LEBENSWELT TABUA: KOSMOLOGI KEBERSAMAAN ATONI PAH METO DALAM CERMIN FENOMENOLOGI ALFRED SCHUTZ
Tag
Arsip
Kue Pelangi Menakjubkan Terbaik
Final Piala Dunia 2022
Berita Populer & Terbaru
Jajak Pendapat Online