
'POHON FRANSISKUS': PERSEMBAHAN KASIH DI TANAH KERING
Dunia mematung dalam duka. Lonceng kematian berdentang dari Basilika Santo Petrus, menyuarakan berita yang menggetarkan seluruh bumi: Paus Fransiskus telah wafat. Hari ini, mata dunia tertuju ke Vatikan, para pemimpin dunia bergabung bersama umat memenuhi pelataran Basilika Santo Petrus, memberi penghormatan dan doa untuk Paus Fransiskus, sebelum dimakamkan di Basilika Santa Maria Maggiore-Roma.
Sang gembala, yang hidupnya dipersembahkan bagi orang kecil dan bumi yang rapuh, kini kembali ke tanah, tempat asal mula manusia dan pangkuan terakhir semua kehidupan. Namun, dua hari sebelum tubuhnya dikebumikan di Roma, semangat dan ajarannya telah lebih dahulu ditanamkan di tempat-tempat sederhana, di hati-hati yang mencintainya, di tanah-tanah yang haus akan kasih.
Salah satu tempat itu adalah sebuah sudut kecil di dunia, di kampus STP Santo Petrus Keuskupan Atambua, di tanah Timor yang kering, keras, namun sarat harapan. Di sana, di antara kerikil dan retakan tanah, beberapa mahasiswa menyiapkan sebuah penghormatan yang begitu sederhana namun sungguh agung, menanam pohon.
Mereka beraksi di sebuah tempat yang dinamakan Ruang Belajar Kehidupan (RBK), sebuah ruang di mana tanah bukan hanya dipijak, tetapi dihormati; di mana bumi bukan hanya digunakan, tetapi dirawat sebagai saudara. Mereka mengerti betul bahwa kehidupan tidak hanya diajarkan lewat buku, melainkan lewat tindakan konkret yang menyatu dengan ciptaan.
Tanah Timor, yang keras dan retak, menyimpan cerita panjang tentang kelaparan, kekeringan, dan perjuangan. Tapi, tanah ini juga pernah diberkati, tahun lalu, Paus Fransiskus menginjakkan kakinya di atas tanah Timor, di Timor Leste. Dalam kunjungan itu, ia membawa pesan damai, kasih, dan persaudaraan ekologis kepada semua anak Timor. Meskipun hanya menapakkan kaki di negeri tetangga, napasnya terasa sampai ke Timor Barat; sampai ke Atambua, Kefamenanu, sampai ke hati para mahasiswa muda itu yang kini, dalam duka, memilih menanam benih kehidupan.
Dalam keheningan yang khidmat, tangan-tangan muda mulai mencangkul tanah. Mereka menggali bukan hanya lubang untuk pohon, melainkan lubang di dalam hati mereka sendiri, ruang untuk mengenang, menghormati, dan melanjutkan warisan kasih Paus Fransiskus.
Raimundus Rao berkata sambil menanam pohon beringin, "Saya menanam pohon ini sebagai bentuk penghormatan kepada Paus Fransiskus, pemimpin Gereja Katolik yang mengeluarkan ensiklik Laudato Si." Dalam kata-katanya mengalir kesadaran bahwa Laudato Si bukan hanya teks, melainkan nafas baru dalam memahami bumi sebagai rumah bersama. Tak jauh dari situ, Agustinus Tarano Sasi menggali lubang kecil dan dengan suara tenang, menambahkan, "Pohon ini saya tanam untuk menghormati Paus Fransiskus yang telah meninggal. Saya akan menamakan pohon ini 'Pohon Fransiskus'." Ia tahu, memberi nama bukan sekadar formalitas. Memberi nama adalah membaptis pohon itu ke dalam ingatan kasih yang abadi.
David Pineul, dengan sorot mata penuh semangat, berbagi, "Saya menanam pohon ini untuk menghormati Paus Fransiskus sebagai pemimpin tertinggi Gereja, yang mengingatkan kita bahwa bumi adalah rumah bersama. Saya akan menamainya 'Beringin Fransiskus'." Setiap cabang, setiap daun, setiap naungan yang kelak diberikan pohon itu, akan menjadi saksi hidup ajaran Laudato Si. Yosef A. Bria, sederhana dan dalam, berkata, "Sebelum Paus Fransiskus dimakamkan, saya menanam pohon ini untuk menghormati beliau." Kata-katanya pendek, namun seperti akar pohon, kata-kata itu menghujam dalam ke dasar bumi jiwa.
Ewaldus Nabu, mewakili gema hati semua rekan, menuturkan, "Kami menanam pohon-pohon ini untuk menghormati Paus Fransiskus. Dengan Laudato Si, ia mengajarkan bahwa manusia harus bersahabat dengan bumi: merawatnya dengan lembut, sebab alam yang dijaga akan menjaga kita pula." Pohon-pohon itu ditanam bukan hanya sebagai kenangan, melainkan sebagai janji, untuk terus melanjutkan misi menjaga rumah bersama.
Seperti sabda Tuhan, "Aku hendak membuat sungai memancar di padang belantara dan mata air di tanah yang kering" (Yesaya 43:19), maka di tanah Timor yang keras, di tempat di mana panas membakar tanah dan manusia, pohon-pohon ini bertumbuh sebagai janji Allah sendiri, bahwa kehidupan akan terus bersemi meskipun dari retakan-retakan luka.
Ketika tanah digali, saat akar menembus ke kedalaman bumi, saat daun pertama menyentuh angin Timor yang panas, sebuah liturgi diam-diam terjadi yakni liturgi kasih bagi bumi, liturgi harapan bagi masa depan.
Paus Fransiskus pernah berkata, "Laudato Si, mi’ Signore,” Terpujilah Engkau, ya Tuhanku, melalui semua ciptaan-Mu. Beberapa pemuda di atas tanah Timor, ikut menyanyikannya dengan cara mereka sendiri, lewat setiap pohon yang mereka tanam, lewat setiap genggam tanah yang mereka pegang, lewat setiap tetes keringat yang mereka berikan.
Hari ini, saat dunia mengantar Paus Fransiskus ke tempat peristirahatan terakhirnya, pohon-pohon kecil itu berdiri dalam hening, menjadi altar-altar kecil yang mempersembahkan duka dan sukacita, air mata dan harapan, ke langit. Di tanah kering ini, di tanah yang pernah disentuh jejaknya, cinta Paus Fransiskus tidak mati. Ia hidup, bertunas, bertumbuh, dan suatu hari, akan menaungi banyak orang dalam damai dan kasih.
Terima kasih, Paus Fransiskus. Pohon-pohon kami akan menjadi tangan-tanganmu yang terus melindungi bumi ini. Doa-doa kami akan menjadi akar-akarmu yang menembus dalam tanah-tanah kering dunia ini. Requiecat in pace, Pastor Bonus. Selamat pulang ke rumah Bapa. Kami akan meneruskan jejak langkahmu di bumi yang kau cintai. (KU)
Tag
Berita Terkait

Tag
Arsip
Kue Pelangi Menakjubkan Terbaik
Final Piala Dunia 2022
Berita Populer & Terbaru


Jajak Pendapat Online
