• Hari ini: June 23, 2025

KATEKIS MILITAN DI ERA 5.0: REFLEKSI KRITIS HARDIKNAS UNTUK PENDIDIKAN IMAN YANG INTEGRAL

23 June, 2025
60

KATEKIS MILITAN DI ERA 5.0: REFLEKSI KRITIS HARDIKNAS UNTUK PENDIDIKAN IMAN YANG INTEGRAL

(KU01052025)


    Hari Pendidikan Nasional bukan sekadar seremoni tahunan, melainkan momen penting untuk menguji ulang arah dan dasar pendidikan kita: apakah pendidikan kita sungguh memanusiakan manusia. Dalam Gereja Katolik, pertanyaan itu menemukan bentuknya secara konkret dalam pendidikan para calon katekis. Apakah pendidikan kita, yang dibingkai dalam sistem sekolah dan asrama, masih mampu membentuk pribadi katekis yang tangguh, beriman, dan relevan di tengah realitas zaman yang bergerak cepat dan kompleks? Atau justru menghasilkan lulusan yang canggung menghadapi tantangan iman dan moral era Revolusi Industri 5.0?

    Era 5.0 bukan sekadar perkembangan teknologi. Era ini menuntut perubahan cara berpikir, merasa, dan bertindak manusia. Di sinilah krisis besar sedang mengintai: iman menjadi relativistik, kebenaran dikaburkan, dan nilai-nilai injili terdesak oleh algoritma viralitas. Katekis yang dibentuk hari ini harus disiapkan bukan sekadar sebagai pengajar doktrin, tetapi sebagai garda depan pewartaan yang tahu menyapa umat manusia dengan Injil dalam bahasa zaman. Artinya, pendidikan katekis hari ini harus melahirkan pribadi yang bernalar tajam, berhati terbakar, dan berani tampil sebagai cahaya di tengah dunia yang memudarkan makna iman.

    Kitab Suci sendiri menekankan pentingnya peran pengajar iman. Dalam Efesus 4:11-13, peran ini jelas disebut sebagai bagian dari pembangunan Tubuh Kristus menuju kedewasaan rohani. Paulus bahkan menasihati Timotius agar “bertekunlah memberitakan firman, siap sedialah baik atau tidak baik waktunya” (2Tim 4:2). Dalam dunia yang kehilangan arah moral, katekis tidak boleh netral. Katekis harus siap menjadi suara profetis yang mengganggu kenyamanan palsu. Militansi iman bukan tentang fanatisme buta, melainkan keberanian untuk tetap setia pada Injil, sekalipun harus berhadapan dengan ketidakpopuleran dan resistensi zaman.

    Magisterium Gereja juga memberikan perhatian serius terhadap formasi katekis. Catechesi Tradendae menekankan bahwa katekis adalah “saksi hidup iman”, bukan sekadar pengajar teori. Directory for Catechesis (2020) lebih jauh menuntut adanya pembinaan yang menyeluruh: spiritual, intelektual, emosional, dan sosial. Pendidikan katekis tidak boleh hanya menghasilkan tenaga pelayanan liturgis atau fungsional, tetapi pribadi yang matang dalam iman, siap berjalan bersama umat dalam proses pembentukan hati yang injili. Maka, sistem pendidikan yang dikembangkan harus memuat daya transformasi yang nyata, bukan sekadar transmisi informasi.

    Di sisi lain, tradisi Gereja, baik dalam liturgi, devosi, maupun praktik komunitas, adalah medan nyata pembentukan iman. Tradisi bukan museum, tetapi laboratorium hidup. Ia bukan beban, melainkan sumber daya yang memperkaya dan membentuk roh pelayanan. Dalam logika lex orandi, lex credendi, cara kita berdoa membentuk cara kita percaya. Tanpa akar tradisi, pendidikan iman akan melahirkan katekis yang cerdas tetapi kering secara spiritual. Karena itu, perlu ruang yang memberi napas kontemplatif di tengah kehidupan formasi yang seringkali terlalu akademik atau administratif.

    Sinergi antara sekolah dan asrama merupakan titik strategis pendidikan katekis. Sekolah memfasilitasi pertumbuhan intelektual dan pastoral, sementara asrama menjadi ruang pertumbuhan hidup rohani, kedisiplinan, dan relasi yang membentuk karakter. Jika dua wilayah ini tidak bersatu dalam visi pembentukan integral, akan terjadi fragmentasi: lulusan yang tahu banyak, tetapi tidak bisa menghayati apa yang diajarkan. Maka sinergi ini harus dijaga bukan hanya secara struktural, tetapi terutama secara spiritual dan pedagogis.

    Dari formasi integral ini, lahirlah dua karakter utama yang mutlak diperlukan: kreativitas dan militansi iman. Kreativitas memungkinkan katekis menjadi jembatan Injil dengan dunia digital, seni, budaya populer, hingga realitas sosial umat. Sementara militansi iman mengakar pada semangat setia dan tahan uji, yang tidak mudah goyah oleh tekanan ideologi atau gaya hidup instan. Pendidikan katekis yang tidak menghidupi keduanya hanya akan menghasilkan lulusan yang tidak siap berdialog dengan dunia nyata.

    Hari Pendidikan Nasional menjadi momen refleksi: apakah kita sedang membentuk pewarta yang sekadar pintar atau sungguh tangguh? Apakah sistem kita cukup mendampingi pertumbuhan pribadi katekis agar menjadi saksi yang hidup, bukan sekadar pengisi kebutuhan pelayanan Gereja? Di tengah zaman yang mencairkan segala nilai, katekis yang militan dan kreatif adalah harapan nyata untuk masa depan iman Gereja.