• Hari ini: September 08, 2025

JULI: HUJAN, HIKMAT DAN KEGELISAHAN

08 September, 2025
74

JULI: HUJAN, HIKMAT DAN KEGELISAHAN

(KU)
     

    Hujan yang terus turun hingga Juli mengejutkan banyak petani khususnya di Timor Tengah Utara. Ladang tetap basah. Tanah berlumpur. Akses menuju lokasi kebun semakin sulit. Padahal, bulan Juli biasanya menjadi tanda masuknya musim kering, saatnya membuka lahan, menebas semak, dan menanam. Perubahan musim kali ini bukan gangguan belaka, melainkan pesan ekologi yang menuntut perhatian.

    Juli dan Agustus dikenal sebagai musim kesibukan. Anak-anak kembali ke sekolah. Orang tua sibuk membeli seragam, alat tulis, dan membayar iuran pendidikan. Dalam waktu bersamaan, banyak keluarga mengadakan pesta nikah, membangun rumah adat, serta menggelar ritual penghormatan bagi leluhur. Semua kegiatan itu membutuhkan biaya besar. Sementara itu, ladang belum bisa digarap. Beberapa hajatan harus ditunda atau dilaksanakan dalam kondisi darurat. Tekanan ekonomi meningkat. Keadaan ini menuntut kebijaksanaan kolektif, bukan sekadar keluhan personal.

    Dalam pandangan Atoni Pah Meto, alam bukan benda mati. Alam adalah bagian dari relasi hidup, dengan sesama, leluhur, dan Uis Neno. Hujan, angin, padang, dan tanah bukan sekadar unsur alam, tetapi mitra dalam keberlangsungan hidup. Perubahan musim perlu ditanggapi bukan dengan kekhawatiran, melainkan dengan pemaknaan. Ketika bumi berbicara, manusia diajak mendengar. Banyak petani belum dapat membuka ladang. Kalender tanam tradisional terganggu. Namun di tengah kesulitan itu, padang-padang menghijau. Rumput tumbuh subur. Air meresap ke dalam tanah. Hewan ternak menemukan pakan melimpah. Peternak menikmati manfaat musim yang tak biasa. Ketika bertani belum memungkinkan, peternakan tetap dapat diandalkan sebagai sumber harapan.

    Masalah yang dihadapi tidak hanya soal teknis bercocok tanam, melainkan soal pola pikir. Masih banyak yang berharap musim akan kembali seperti dulu. Kenyataannya, perubahan iklim telah membalik arah musim. Petani tidak bisa menunggu. Pola lama tidak selalu cocok untuk situasi baru. Perubahan menuntut keberanian untuk berinovasi.

    Kitab Kejadian menulis bahwa manusia ditaruh di taman untuk mengusahakan dan memeliharanya (Kej. 2:15). Tugas itu memerlukan sikap terbuka terhadap dinamika ciptaan. Bukan melawan musim, tetapi merespons dengan bijaksana. Dalam terang iman, perubahan bukan bencana, tetapi kesempatan untuk bertumbuh. Gaudium et Spes menyebutkan bahwa manusia dipanggil untuk membaca tanda-tanda zaman secara aktif (GS 4). Paus Fransiskus dalam Laudato Si’ menyatakan bahwa perubahan iklim paling dahulu menyentuh kehidupan petani kecil. Kehidupan yang bergantung pada tanah menjadi yang paling rentan. Oleh sebab itu, adaptasi bukan kelemahan. Adaptasi adalah bentuk tanggung jawab moral terhadap sesama dan ciptaan (LS 25). Dunia berubah, dan manusia diajak untuk berubah bersama.

    Dr. Harmi Andrianyta dari BBP2TP menekankan bahwa ketergantungan pada pola tanam lama sudah tidak relevan. Kalender tanam fleksibel dan varietas tanaman umur pendek menjadi solusi tepat. Tanaman seperti jagung cepat panen, sawi, bayam, dan kangkung dapat dimanfaatkan dalam jeda hujan. Produktivitas tetap terjaga, asalkan petani berani mengambil keputusan baru. Penelitian Universitas Timor (2024) menyebutkan bahwa masyarakat Atoni memiliki kekuatan adaptif dalam budaya lokal. Nilai seperti saling menolong, kerja bersama, serta tradisi lainnya menyimpan kebijaksanaan ekologis. Sayangnya, banyak nilai itu hanya muncul dalam seremoni, tidak dalam praksis sehari-hari. Potensi budaya tetap tersedia, namun perlu diaktifkan kembali dalam kehidupan nyata.

    Akar dari kerapuhan hari ini adalah melemahnya relasi sosial. Budaya kerja kolektif mulai digantikan semangat individual. Ketika tantangan musim datang, kekuatan teknologi saja tidak cukup. Diperlukan kekuatan komunitas. Solidaritas menjadi alat bertahan. Dalam badai musim, kerja sama jauh lebih bernilai dibanding sekadar kecepatan individu.

    Adaptasi perlu menyentuh tiga unsur yakni teknologi, budaya, dan spiritualitas. Tumpangsari hortikultura dan palawija, pemanfaatan embung, serta sistem pertanian terpadu dengan peternakan bisa dijalankan bersama tradisi di Timor. Prediksi cuaca modern dan kebijaksanaan lokal tidak harus bertentangan. Ketika berpikir terbuka, keduanya bisa saling memperkaya.

    Kitab Ayub 5:10 mengingatkan, “Dia memberi hujan ke atas muka bumi dan mengirim air ke atas ladang-ladang.” Hujan bukan kutuk, tetapi bentuk kasih Tuhan. Petani yang mau belajar dari hujan sedang menjalani spiritualitas kerja. Tidak hanya menanam benih di tanah, tetapi juga menanam harapan dalam iman. Ajaran Gereja menegaskan bahwa menjaga bumi adalah bagian dari tugas perutusan. Laudato Si’ menyebut bahwa ekologis dan iman adalah satu kesatuan. Maka, bertani yang bijak, beternak yang peduli, dan membangun relasi sosial yang kokoh merupakan bagian dari kesaksian iman. Gereja harus hadir bukan hanya di altar, tetapi juga di ladang dan padang.

    Dulu, menebas hutan dianggap cara utama untuk membuka harapan. Kini, pola pikir lama perlu ditebas lebih dahulu. Tanah Timor memang kering. Tapi dari kekeringan itu, muncul manusia-manusia yang sabar, hemat, dan tangguh. Musim ini bukan penghalang. Musim ini adalah guru. Mari belajar dari hujan, menanam dengan hikmat, dan menuai masa depan yang lebih arif.