
Dalam kerangka fenomenologi Alfred Schutz, Lebenswelt dipahami sebagai dunia kehidupan yang menjadi horizon dasar bagi manusia dalam mengalami realitas. Dunia ini adalah ruang intersubjektif yang kita masuki sebelum segala refleksi ilmiah; dunia yang “dihidupi bersama, diterima begitu saja, dan di mana tindakan manusia memperoleh makna sosial” (Schutz, 1932). Dengan kata lain, Lebenswelt adalah fondasi makna yang secara terus-menerus dibangun dalam interaksi sehari-hari, melalui kebiasaan, tradisi, dan relasi sosial.
Jika ditarik ke dalam khazanah budaya Atoni Pah Meto, konsep ini menemukan padanannya dalam Tabua. Secara harfiah berarti “bersama,” Tabua bukan sekadar interaksi sosial pragmatis, melainkan horizon hidup yang menyeluruh. Tabua meliputi berbagai bentuk praksis: Tok Tabua (duduk bersama) sebagai ruang deliberasi kolektif, Tbukae Tabua (makan bersama) sebagai perayaan solidaritas, Tmeup Tabua (kerja bersama) sebagai praksis komunal, hingga dimensi spiritual berupa kebersamaan dengan leluhur dan Sang Wujud Tertinggi. Dengan demikian, Tabua adalah kategori eksistensial khas Atoni Pah Meto yang menjelaskan bagaimana manusia memahami diri, sesama, dan dunia, sekaligus bagaimana mereka menjembatani yang empiris dengan yang transenden (Schulte Nordholt, 1971).
Perspektif Schutz memperlihatkan bahwa Lebenswelt Tabua hanya dapat dipahami melalui intersubjektivitas. Dalam Tok Tabua, misalnya, duduk bersama bukanlah aktivitas pasif, melainkan proses deliberatif yang memungkinkan konsensus lahir dari lingkaran kebersamaan. Schutz menyebut fenomena ini sebagai we-relation, hubungan “kami” yang melampaui sekadar relasi “aku–engkau,” sehingga memberi makna sosial yang lebih luas (Schutz, 1962).
Dalam Tbukae Tabua, makan bersama tidak berhenti pada konsumsi fisik. Makan bersama adalah tindakan simbolis yang memperkuat kohesi sosial dan meneguhkan relasi antaranggota komunitas. Penelitian antropologi dan sosiologi makan menegaskan bahwa commensality berfungsi sebagai perekat sosial yang kuat (Fischler, 2011; Sobal & Nelson, 2003). Namun, pada Tabua, makna ini melampaui aspek sosial dan memasuki ranah kosmik: makan bersama adalah juga berbagi kehidupan dengan leluhur dan menghadirkan Sang Wujud Tertinggi dalam kebersamaan. Perspektif ini sejalan dengan studi Durkheim (1912/2008) dalam The Elementary Forms of Religious Life, yang menekankan bahwa ritual kolektif bukan hanya memperkuat solidaritas sosial, tetapi juga menghadirkan pengalaman sakral yang mengikat individu dengan komunitas dan yang ilahi.
Lebih jauh, Tmeup Tabua (kerja bersama) menunjukkan bagaimana Lebenswelt diatur melalui typification. Bagi Schutz, tipifikasi adalah pola peran sosial yang diambil-for-granted dan dipahami bersama (Schutz, 1932). Dalam kerja bersama, setiap orang mengetahui tugas dan tanggung jawabnya tanpa perlu penjelasan ulang, karena sudah diikat oleh pemahaman kolektif. Studi James Spradley (1979) tentang participant observation juga memperlihatkan bahwa pola kerja kolektif dalam masyarakat tradisional bukan hanya teknis, tetapi juga mengandung makna simbolis yang mengikat. Hal ini menegaskan bahwa Tabua adalah struktur dunia kehidupan yang terinternalisasi dalam praksis komunal.
Aspek paling mendalam dari Tabua terletak pada jangkauannya yang kosmik. Kebersamaan dalam Tabua tidak hanya berhenti pada interaksi antar-manusia, tetapi juga merangkul mereka yang telah wafat (leluhur) dan bahkan Sang Wujud Tertinggi. Schutz (1962) menyebut hal ini sebagai multiple realities: dunia kehidupan tidak tunggal, melainkan terdiri atas berbagai ranah makna yakni dunia sehari-hari, dunia ritual, dunia mitos, hingga dunia religius. Dalam studi fenomenologi agama, Berger (1967) menegaskan bahwa dunia sosial selalu “dilegitimasi” oleh kosmos transenden yang memberi dasar bagi keteraturan hidup. Dalam kerangka itu, Tabua berfungsi sebagai jembatan yang menyatukan semua realitas tersebut menjadi satu kosmos kebersamaan (Fox, 1980; Traube, 1986).
Namun, di tengah modernisasi dan arus individualisme, Tabua menghadapi tantangan serius. Jika Tabua direduksi hanya menjadi seremoni adat, maka fungsi fundamentalnya sebagai horizon makna kolektif akan terkikis. Hal ini serupa dengan kritik yang diajukan Anthony Giddens (1991) mengenai “disembedding” dalam masyarakat modern: tradisi-tradisi lokal kehilangan daya mengikat ketika direduksi menjadi formalitas tanpa makna. Karena itu, kritik yang perlu digarisbawahi ialah bahwa Tabua harus terus dibaca sebagai Lebenswelt kosmik yang hidup, bukan sekadar tradisi statis. Schutz menolong kita menyadari kembali bahwa dunia kehidupan adalah sumber asli makna sosial (Schutz, 1962). Oleh karena itu, menjaga Tabua berarti menjaga daya hidup Lebenswelt yang menopang solidaritas, iman, dan orientasi eksistensial Atoni Pah Meto.
Dengan demikian, Lebenswelt Tabua adalah manifestasi fenomenologis dari kosmos kebersamaan: kebersamaan dengan sesama, leluhur, dan Sang Wujud Tertinggi. Lebeswelt Tabua ditopang oleh intersubjektivitas, tipifikasi, dan pluralitas realitas yang membentuk dunia kehidupan. Refleksi kritis ini menegaskan bahwa mempertahankan Tabua bukan sekadar melestarikan adat, tetapi mempertahankan horizon makna yang memungkinkan manusia tetap berakar pada dunia kehidupan di tengah perubahan zaman. (KU)
Tag
Berita Terkait

Tag
Arsip
Kue Pelangi Menakjubkan Terbaik
Final Piala Dunia 2022
Berita Populer & Terbaru



Jajak Pendapat Online
