• Hari ini: November 25, 2025

TERANG DI TENGAH KABUT: KADO KECIL UNTUK GURU

25 November, 2025
152

    Sebelum cahaya pagi benar-benar muncul, seorang guru bernama Andre sudah terjaga, bergerak menuju sekolah, merapikan ruang kelas kecil yang berdiri sederhana di tengah hawa dingin. Dari berbagai penjuru, anak-anak berjalan menuju sekolah dengan langkah yang membawa kegembiraan lebih besar daripada jarak yang mereka lalui. Andre menyambut setiap wajah kecil itu dengan senyum yang menenteramkan, meski pikirannya masih dipenuhi tuntutan pekerjaan yang tak pernah ringan, administrasi yang menumpuk, rapor yang harus diselesaikan, dan ekspektasi publik yang terus mengiringi setiap langkah. Di sela kesibukan itu, saat duduk sejenak di teras kelas, muncul kembali pertanyaan yang tak pernah benar-benar pergi, sudahkah menjadi guru yang layak bagi murid-murid tercinta?

    Pertanyaan itu sesungguhnya mewakili pergulatan batin banyak guru di negeri ini. Di mata publik guru adalah pahlawan; di ruang refleksi, manusia biasa yang lelah, takut gagal, namun tetap berjuang. Di titik itulah tampak paradoks yang indah sekaligus getir, profesi yang diagungkan tetapi juga kerap dirundung beban harapan yang terlalu berat.

    Guru selalu menjadi wajah dari harapan bangsa. Namun, harapan itu sering datang tanpa empati. Ketika angka tak sesuai target, jarang yang menengok konteks, ruang kelas tanpa fasilitas memadai, buku yang tak lengkap, atau beban administrasi yang menyesakkan. Publik mencintai guru sebagai simbol, tetapi sering lupa bahwa simbol itu berdetak, bernapas dan berjuang dalam sunyi.

    Profesionalisme guru sejati bukanlah tentang laporan yang rapi, melainkan tentang pikiran yang terus belajar, hati yang mau merefleksi dan semangat berbagi dalam komunitas belajar. Seorang guru profesional adalah pembelajar yang tidak berhenti tumbuh. Tidak cukup sekadar hadir di pelatihan tetapi juga hadir dalam proses pembentukan diri dan muridnya. Di sanalah inti profesi guru, bukan pada sertifikat, tetapi pada kesadaran reflektif dan ketulusan dalam bertumbuh bersama.

    Namun, sistem sering kali menafsirkan profesionalisme secara kaku. Akuntabilitas berubah menjadi pengawasan dan evaluasi menjadi vonis. Angka-angka menggantikan makna, laporan menggantikan percakapan dan kebijakan kehilangan sentuhan manusiawi. Padahal, sejatinya, pendidikan adalah ruang relasi. Akuntabilitas yang berkeadaban menuntut keseimbangan antara tuntutan dan pengertian, antara penilaian dan empati.

    Setiap guru membutuhkan ruang untuk bernapas dan berpikir. Pengembangan profesional sejati bukan sekadar pelatihan singkat tetapi perjalanan panjang dalam komunitas yang saling belajar. Ketika guru diberi waktu untuk refleksi, untuk mencoba hal baru dan untuk gagal tanpa dihukum, maka lahirlah kreativitas. Dari ruang kelas seperti itu, tumbuh anak-anak yang berpikir merdeka.

    Kebijakan pendidikan yang berempati lahir dari keberanian untuk mendengar. Mendengar kisah di balik angka, perjuangan di balik data dan manusia di balik peran. Guru bukan alat kebijakan tetapi rekan dalam peradaban. Memberi waktu untuk berpikir adalah bentuk penghormatan tertinggi pada profesi yang telah membentuk generasi.

    Kelas sesungguhnya bukan sekadar ruang belajar melainkan ruang hidup. Di sanalah dua manusia, guru dan murid, saling membentuk makna. Setiap kata, setiap pandangan, setiap kegagalan kecil adalah bagian dari proses membangun kehidupan. Pendidikan yang sejati selalu personal dan di situlah letak kemuliaannya.

    Dan pada puncaknya, sosok Yesus tampil sebagai Guru sejati bukan karena pengetahuan, melainkan karena kasih. Mengajar melalui teladan, melayani tanpa pamrih dan menumbuhkan tanpa menuntut balasan. Ia memahami dunia manusia, hadir di tengah penderitaan, berjalan bersama dalam proses tumbuh. Pengajaran-Nya tidak berhenti di kepala tetapi menyentuh hati dan mengubah hidup.

    Di tengah dunia pendidikan yang semakin terukur oleh angka, sosok seperti Andre dan ribuan guru lain yang setia di pelosok negeri, mengingatkan bahwa inti pendidikan adalah kemanusiaan. Guru sejati bukan sekadar pengajar tetapi penyalur makna, penumbuh harapan dan penjaga nurani bangsa.

Selamat Hari Guru.
Untuk setiap tangan yang menulis dengan sabar, untuk setiap mata yang percaya pada masa depan, untuk setiap hati yang tidak berhenti mencinta, terima kasih telah menyalakan terang di tengah kabut.

(Catatan kecil dari kamar kecil Hutan Keramat, cinta tidak pernah mati, 25 November 2025, KU)