Sebelum cahaya pagi
benar-benar muncul, seorang guru bernama Andre sudah terjaga, bergerak menuju sekolah, merapikan ruang
kelas kecil yang berdiri sederhana di tengah hawa dingin. Dari berbagai
penjuru, anak-anak berjalan menuju sekolah dengan langkah yang membawa
kegembiraan lebih besar daripada jarak yang mereka lalui. Andre menyambut
setiap wajah kecil itu dengan senyum yang menenteramkan, meski pikirannya masih
dipenuhi tuntutan pekerjaan yang tak pernah ringan, administrasi yang menumpuk,
rapor yang harus diselesaikan, dan ekspektasi publik yang terus mengiringi
setiap langkah. Di sela kesibukan itu, saat duduk sejenak di teras kelas,
muncul kembali pertanyaan yang tak pernah benar-benar pergi, sudahkah menjadi
guru yang layak bagi murid-murid tercinta?
Pertanyaan itu sesungguhnya
mewakili pergulatan batin banyak guru di negeri ini. Di mata publik guru adalah
pahlawan; di ruang refleksi, manusia biasa yang lelah, takut gagal, namun tetap
berjuang. Di titik itulah tampak paradoks yang indah sekaligus getir, profesi
yang diagungkan tetapi juga kerap dirundung beban harapan yang terlalu berat.
Guru selalu menjadi wajah
dari harapan bangsa. Namun, harapan itu sering datang tanpa empati. Ketika
angka tak sesuai target, jarang yang menengok konteks, ruang kelas tanpa
fasilitas memadai, buku yang tak lengkap, atau beban administrasi yang menyesakkan.
Publik mencintai guru sebagai simbol, tetapi sering lupa bahwa simbol itu
berdetak, bernapas dan berjuang dalam sunyi.
Profesionalisme guru sejati
bukanlah tentang laporan yang rapi, melainkan tentang pikiran yang terus
belajar, hati yang mau merefleksi dan semangat berbagi dalam komunitas
belajar. Seorang guru profesional adalah pembelajar yang tidak berhenti tumbuh.
Tidak cukup sekadar hadir di pelatihan tetapi juga hadir dalam proses
pembentukan diri dan muridnya. Di sanalah inti profesi guru, bukan pada
sertifikat, tetapi pada kesadaran reflektif dan ketulusan dalam bertumbuh
bersama.
Namun, sistem sering kali
menafsirkan profesionalisme secara kaku. Akuntabilitas berubah menjadi
pengawasan dan evaluasi menjadi vonis. Angka-angka menggantikan makna, laporan
menggantikan percakapan dan kebijakan kehilangan sentuhan manusiawi. Padahal,
sejatinya, pendidikan adalah ruang relasi. Akuntabilitas yang berkeadaban
menuntut keseimbangan antara tuntutan dan pengertian, antara penilaian dan
empati.
Setiap guru membutuhkan
ruang untuk bernapas dan berpikir. Pengembangan profesional sejati bukan
sekadar pelatihan singkat tetapi perjalanan panjang dalam komunitas yang
saling belajar. Ketika guru diberi waktu untuk refleksi, untuk mencoba hal
baru dan untuk gagal tanpa dihukum, maka lahirlah kreativitas. Dari ruang
kelas seperti itu, tumbuh anak-anak yang berpikir merdeka.
Kebijakan pendidikan yang
berempati lahir dari keberanian untuk mendengar. Mendengar kisah di balik
angka, perjuangan di balik data dan manusia di balik peran. Guru bukan alat
kebijakan tetapi rekan dalam peradaban. Memberi waktu untuk berpikir adalah bentuk
penghormatan tertinggi pada profesi yang telah membentuk generasi.
Kelas sesungguhnya bukan
sekadar ruang belajar melainkan ruang hidup. Di sanalah dua manusia, guru dan
murid, saling membentuk makna. Setiap kata, setiap pandangan, setiap kegagalan
kecil adalah bagian dari proses membangun kehidupan. Pendidikan yang sejati
selalu personal dan di situlah letak kemuliaannya.
Dan pada puncaknya, sosok
Yesus tampil sebagai Guru sejati bukan karena pengetahuan, melainkan karena
kasih. Mengajar melalui teladan, melayani tanpa pamrih dan menumbuhkan tanpa
menuntut balasan. Ia memahami dunia manusia, hadir di tengah penderitaan,
berjalan bersama dalam proses tumbuh. Pengajaran-Nya tidak berhenti di kepala tetapi menyentuh hati dan mengubah hidup.
Di tengah dunia pendidikan
yang semakin terukur oleh angka, sosok seperti Andre dan ribuan guru lain yang
setia di pelosok negeri, mengingatkan bahwa inti pendidikan adalah kemanusiaan.
Guru sejati bukan sekadar pengajar tetapi penyalur makna, penumbuh harapan dan
penjaga nurani bangsa.
Selamat Hari Guru.
Untuk setiap tangan yang menulis dengan sabar, untuk setiap mata yang percaya
pada masa depan, untuk setiap hati yang tidak berhenti mencinta, terima kasih
telah menyalakan terang di tengah kabut.
(Catatan kecil dari kamar kecil Hutan Keramat, cinta tidak pernah mati, 25 November 2025, KU)
Tag
Berita Terkait
LEBENSWELT TABUA: KOSMOLOGI KEBERSAMAAN ATONI PAH METO DALAM CERMIN FENOMENOLOGI ALFRED SCHUTZ
Tag
Arsip
Kue Pelangi Menakjubkan Terbaik
Final Piala Dunia 2022
Berita Populer & Terbaru
Jajak Pendapat Online