• Hari ini: October 30, 2025

BENIH KASIH DI TANAH OELNITEP

30 October, 2025
101


Pagi itu Rabu, 29 Oktober 2025, mentari menembus lembut kabut tipis yang masih bergelayut di seputan Oelnitep. Udara segar menyapa lembah dan ladang yang nampak menguning kecoklatan akibat sengatan panas musim kemarau, sementara suara burung bercampur dengan desir angin yang melintasi ilalang. Tepat pukul 09.00, lonceng kecil kapela berdentang, memanggil umat memasuki rumah Tuhan. Di antara derap langkah kaki dan sapaan sukacita, umat Kapela Santo Dominikus Oelnitep berkumpul merayakan ulang tahun ke-17 kapela mereka, rumah doa sederhana yang selama bertahun-tahun menjadi pusat iman, kasih, dan pengharapan di tengah tanah kering Timor.

Perayaan Ekaristi dipimpin oleh Rm Kristo Ukat, Pr, didampingi oleh Rm Gabriel Alos, Pr, Pastor Paroki Santo Yohanes Pemandi Naesleu. Dari altar yang sederhana namun penuh makna, doa dan nyanyian mengalun seperti mata air di padang gersang. Koor gabungan umat Oelnitep menyalakan semangat liturgi dengan lagu-lagu inkulturatif berbahasa Meto, yang membalut seluruh perayaan. Suara mereka berpadu indah dengan nyanyian alam: desir angin, lenguh ternak di kejauhan, dan desiran daun-daun yang menari, seolah seluruh ciptaan ikut memuji Sang Pencipta atas kasih setia-Nya yang terus menghidupkan tanah Oelnitep.

 

Benih yang Diberkati, Iman yang Dihidupkan

Ketika tiba saat Persembahan, suasana misa menjadi lebih hening dan sarat makna. Diiringi nyanyian berbahasa Meto berjudul Hai Mnao Em gubahan Klemes Kabiti, para orang tua, wajah mereka dihiasi keriput kebijaksanaan, berjalan perlahan menuju altar. Mereka membawa benih jagung, padi, kacang tanah, dan berbagai benih kehidupan lainnya. Langkah mereka seolah doa yang diucapkan dengan tubuh: doa bagi hujan yang akan datang, bagi kerja yang akan dilanjutkan, dan bagi generasi yang akan menanam setelah mereka.

Di depan altar, Rm Kristo menadahkan tangan, dan memohon berkat Tuhan atas semua yang akan ditabur di musim tanam nanti. Ia mengulang sabda Yesaya: “Sebab seperti hujan dan salju turun dari langit dan tidak kembali ke sana sebelum mengairi bumi, demikianlah firman yang keluar dari mulut-Ku tidak akan kembali kepada-Ku dengan sia-sia” (Yes 55:10–11).

Firman Tuhan yang hidup itu turun seperti hujan di tanah yang kering. Ia menghidupkan, menumbuhkan, dan menyuburkan, tidak hanya tanah pertanian, tetapi juga tanah hati umat. Maka, benih yang diberkati itu menjadi sacramentum vitae, tanda nyata bahwa Allah bekerja dalam kesunyian bumi dan dalam iman yang tekun.


Seperti tertulis dalam Katekismus Gereja Katolik (KGK 2830): “Doa untuk memohon rezeki sehari-hari mencakup permohonan bagi setiap kebutuhan dasar manusia: makanan dan juga keadilan, kasih, dan berkat bagi pekerjaan manusia.”

Dengan demikian, berkat atas benih bukan sekadar ritus agraris, melainkan liturgi kehidupan, di mana kerja manusia dan rahmat Allah berpadu dalam satu harmoni kasih. Kemudian Rm Kristo mereciki berbagai benih tersebut dengan air berkat, didampingi para misdinar.

Setelah berkat diberikan, benih-benih itu dikembalikan kepada umat saat ritus penutup, untuk dibawa pulang ke rumah masing-masing. Tindakan sederhana ini mengandung makna rohani yang mendalam. Benih yang kembali dari altar bukan sekadar bahan tanam, tetapi tanda berkat yang kembali ke bumi, sebagaimana firman Allah yang turun dan kemudian menghasilkan buah (Yes 55:10). Umat menerimanya dengan tangan terbuka, bukan hanya untuk ditanam di ladang, tetapi juga di hati. Sebab seperti benih yang mati agar tumbuh (Yoh 12:24), demikian pula iman harus ditanam dalam keseharian: dalam kerja, dalam keluarga, dan dalam kasih kepada sesama.

Dalam simbol budaya Atoni Pah Meto, membawa pulang benih yang telah diberkati berarti membawa pulang napas kehidupan yang berasal dari Tuhan. Di sana, Gereja hadir tidak hanya di altar, tetapi juga di kebun dan dapur, di antara abu tungku dan bau tanah yang basah oleh keringat. Benih yang dibawa pulang menjadi tanda bahwa rahmat Allah berjalan bersama umat: dari altar ke ladang, dari doa ke tindakan, dari iman ke kehidupan.

 

Tanah yang Diberkati, Gereja yang Bertumbuh

Mazmur 65 yang dikidungkan umat mengungkapkan keindahan iman yang membumi: “Engkau memberkati tanah, dan membuatnya subur, ya Tuhan.” Mazmur ini adalah kidung universal yang mengakui keterlibatan Allah dalam seluruh ciptaan. Dalam terang Ensiklik Laudato Si’ (Paus Fransiskus, 2015), tanah bukan sekadar tempat bercocok tanam, tetapi “saudari bumi” (LS, 1) yang menopang kehidupan dan menjadi ruang perjumpaan manusia dengan Allah.

Umat Oelnitep memahami kebenaran ini dengan indra iman yang tajam. Bagi mereka, tanah bukan sekadar sumber pangan, melainkan tanah perjanjian kasih, tempat mereka bekerja, berdoa, dan berharap. Maka ketika tangan mereka menggenggam benih, sesungguhnya mereka menggenggam janji Allah yang bekerja dalam sejarah dan musim.

Santo Basilius Agung pernah berkata, “Setiap benih yang tumbuh adalah khotbah yang berbicara tentang kebaikan Sang Pencipta.” Khotbah itu nyata hari itu di Oelnitep: benih yang kecil menjadi tanda kasih Allah yang besar, dan kapela sederhana menjadi tanda Gereja yang hidup, tumbuh dari tanah umat dan untuk umat.


 

Ulang Tahun Kapela: Perayaan Iman yang Hidup

Setelah Ekaristi, umat tidak langsung pulang. Suasana berubah menjadi pesta rohani penuh sukacita. Di halaman pastoran kapela, sebuah kue ulang tahun yang dipersiapkan oleh Orang Muda Katolik (OMK) Kapela Oelnitep telah menanti. Lilin-lilin dinyalakan, dan anak-anak kecil berlari-lari mendekat dengan mata berbinar. Lagu “Selamat Ulang Tahun” pun bergema, dinyanyikan dengan penuh semangat oleh seluruh umat, anak-anak, remaja, orang muda, dan para orang tua.

Romo Kristo memotong kue bersama perwakilan umat, disaksikan oleh Rm Gab Alos, Pr selaku Pastor Paroki Naesleu dan bapak Thomas Laka selaku Ketua DPP Paroki Naesleu serta sejumlah tokoh umat termasuk Ketua Lingkungan Oelnitep, bapak Yohanes Fallo, para guru dan siswa SDN Oelnitep, disambut tepuk tangan hangat. Momen sederhana itu menjadi tanda kasih dan persaudaraan yang mendalam. Sebab seperti dikatakan Santo Paulus: “Dan di atas semuanya itu: kenakanlah kasih, sebagai pengikat yang mempersatukan dan menyempurnakan” (Kol 3:14).

Kasih itulah yang membuat Kapela Santo Dominikus Oelnitep terus hidup selama 17 tahun, bukan karena bangunannya, melainkan karena umatnya yang saling menopang dan berjuang bersama dalam iman.


 

Perjamuan Kasih di Tenda-Tenda KUB

Acara dilanjutkan dengan santap bersama. Di sekitar kapela, berdiri tenda-tenda kecil tempat setiap Kelompok Umat Basis (KUB) berkumpul untuk makan bersama. Aroma masakan rumahan, jagung bose, sayur-sayuran, dan sambal lu’at, serta beragam jenis masakan tradisional lainnya tersaji siap santap, berpadu dengan canda dan tawa.

Di bawah tenda-tenda itu, Gereja sungguh hidup sebagai communio, persekutuan kasih yang nyata. Seperti dikatakan oleh Paus Benediktus XVI dalam Deus Caritas Est (2005):

“Gereja tidak hanya berbicara tentang kasih, tetapi ia harus menjadi kasih” (DCE, 25).

Maka makan bersama itu bukan sekadar kebiasaan sosial, tetapi perpanjangan dari Ekaristi, di mana kasih yang diterima di altar kini dibagikan di meja makan, antar KUB, antar keluarga, antar hati.

 

Sore Sukacita: Futsal dan Tawa Anak-Anak

Ketika matahari condong ke barat, halaman kapela kembali ramai. Pertandingan futsal anak-anak Oelnitep digelar meriah di lapangan kecil tak jauh dari kapela. Anak-anak laki-laki dan perempuan bermain dengan penuh semangat, disoraki oleh para orang tua yang duduk di pinggir lapangan sambil tertawa dan bersorak.

Sementara itu, anak-anak PAUD Oelnitep mengisi sore dengan berbagai permainan berhadiah, hingga permainan tradisional. Keceriaan mereka menular, seakan mengingatkan bahwa iman yang hidup selalu menumbuhkan sukacita, bukan hanya di altar, tetapi juga di tanah dan di tawa anak-anak.

Benih Kasih yang Terus Bertumbuh

Hari itu, Kapela Santo Dominikus Oelnitep tidak hanya merayakan ulang tahun ke-17-nya. Kapela ini merayakan iman yang tumbuh, kasih yang menubuh, dan harapan yang tak padam di tanah kering Timor. Di tangan para petani dan umat, benih diberkati; di hati umat, kasih ditanam.

Sabda Tuhan kembali bergema: “Yang menabur dengan mencucurkan air mata akan menuai dengan sorak-sorai” (Mzm 126:5). Dan seperti ditegaskan Santo Paulus: “Aku menanam, Apolos menyiram, tetapi Allah yang memberi pertumbuhan” (1Kor 3:6).

Allah-lah yang memberi pertumbuhan iman umat Oelnitep, di ladang mereka, di hati mereka, dan di dalam kapela kecil yang terus menjadi tanda kehadiran Kristus di tengah umat yang sederhana namun setia.


 

Gereja yang Menabur Kasih

Tanah Oelnitep telah diberkati dengan hujan rahmat dan kerja iman. Setiap benih yang ditabur menjadi doa yang hidup; setiap tetes peluh menjadi persembahan kasih. Di altar, dalam tenda-tenda, lopo dan pondok-pondok, dan di ladang, umat belajar bahwa Ekaristi adalah benih kasih yang menumbuhkan Gereja lokal, Gereja yang berpijak di bumi dan berakar di hati umat.

Seperti dikatakan oleh Paus Fransiskus dalam Evangelii Gaudium No 24: “Gereja yang diutus untuk mewartakan Injil harus memiliki hati seorang ibu: menabur benih kasih, menyiraminya dengan pengharapan, dan menumbuhkannya dalam sukacita.”

Dan itulah yang terjadi di Oelnitep hari itu: Gereja menabur kasih di tanahnya sendiri, dan benih itu kini tumbuh, menjadi kehidupan, menjadi persaudaraan, menjadi tanda nyata bahwa Allah sungguh hadir dan bekerja di antara umat-Nya. (KU)