Menulis buku harian kerap dipahami sebagai aktivitas pribadi yang sederhana, sekadar menorehkan peristiwa harian atau meluapkan emosi yang mengendap. Namun, dalam perspektif hermeneutik, buku harian merupakan ruang tafsir yang hidup: suatu spiral pemahaman di mana penulis bergerak dinamis antara pengalaman, refleksi, dan transformasi diri. Gagasan spiral hermeneutik yang dikembangkan Paul Ricoeur dalam Time and Narrative (1984) menyoroti tiga momen pemahaman naratif: prafigurasi, konfigurasi, dan refigurasi. Melalui tinta dan waktu, manusia belajar membaca kembali kehidupannya sebagai teks yang senantiasa ditulis ulang oleh pengalaman dan diselami ulang oleh kesadaran. Dengan demikian, menulis buku harian tidak sekadar menjadi tindakan ekspresif, melainkan juga tindakan epistemologis yang memperdalam pengenalan terhadap diri dan dunia.
Pada tahap prafigurasi, penulis memulai dari dunia konkret kehidupan, emosi mentah, peristiwa yang belum terjelaskan, dan perasaan yang belum memperoleh makna. Setiap kalimat pertama merekam usaha menangkap fragmen realitas sebagaimana dialami, sebelum dirangkai menjadi narasi yang terstruktur. Dalam kerangka Ricoeur, prafigurasi mencakup struktur makna awal yang telah berakar dalam pengalaman hidup sehari-hari (Lebenswelt). Buku harian pada tahap ini menjadi cermin awal bagi kesadaran, tempat manusia menatap pengalaman hidupnya sebelum tersentuh tafsir reflektif. Menulis, pada titik ini, menjadi tindakan eksistensial, perjumpaan antara pengalaman yang belum diolah dan kerinduan untuk memahami.
Tahap konfigurasi menandai proses penataan pengalaman menjadi struktur naratif yang utuh dan bermakna. Penulis mulai menenun peristiwa, emosi, dan perenungan menjadi kisah yang memiliki arah dan koherensi. Kesadaran menangkap hubungan antara masa lalu dan masa kini, antara luka dan pertumbuhan, kehilangan dan pengharapan. Buku harian kemudian bertransformasi dari catatan pasif menjadi teks performatif yang turut membentuk kesadaran diri. Dalam kerangka hermeneutik Ricoeur, konfigurasi merupakan momen di mana pengalaman dijalin dalam alur naratif yang melahirkan makna baru atas kenyataan hidup. Proses menulis menjadi tindakan reflektif yang membantu manusia menata batinnya secara komunikatif, terbuka terhadap penyingkapan kebenaran.
Tahap refigurasi terjadi ketika catatan lama dibaca ulang setelah waktu berlalu. Makna yang dahulu tampak pasti kini bergeser; peristiwa yang dahulu menyakitkan dapat terbaca sebagai rahmat tersembunyi. Dalam spiral hermeneutik ini, pembacaan ulang menjadi peristiwa transformasi, di mana kesadaran diperbarui dan pandangan hidup diperdalam. Ricoeur menggambarkan refigurasi sebagai momen ketika dunia teks kembali memasuki dunia pembaca dan mengubahnya. Buku harian menjadi ruang perjumpaan antara diri masa lalu dan diri masa kini, dialog hermeneutik yang memperluas horizon pemahaman tentang kehidupan. Kesadaran berkembang bukan karena bertambahnya pengetahuan, tetapi karena pendalaman makna yang muncul dari perjumpaan reflektif antara waktu, pengalaman, dan pemahaman.
Dalam perspektif teologis, spiral hermeneutik buku harian mencerminkan dinamika relasi antara manusia dan Allah dalam sejarah pribadi. Dalam terang iman Kristen, menulis buku harian dapat dimengerti sebagai bentuk doa reflektif, suatu lectio vitae, pembacaan kehidupan sebagaimana lectio divina membaca Kitab Suci. Setiap catatan harian dapat dipahami sebagai teks rohani yang menyingkap karya rahmat Allah dalam pengalaman manusiawi. Tahap prafigurasi memperlihatkan dunia kehidupan yang digarap oleh kasih ilahi; konfigurasi menunjukkan partisipasi manusia dalam mengolah pengalaman itu menjadi narasi rohani; sementara refigurasi membuka pengenalan baru akan kasih Tuhan yang menyertai perjalanan hidup. Sebagaimana dinyatakan dalam Mazmur 139:16, “Matamu melihat selagi aku bakal anak, dan dalam kitab-Mu semuanya tertulis hari-hari yang akan dibentuk,” kehidupan manusia menjadi teks yang terus ditulis oleh tangan ilahi.
Refleksi ini selaras dengan visi Gereja sebagaimana termaktub dalam Gaudium et Spes art. 1: “Sukacita dan harapan, duka dan kecemasan orang-orang zaman ini, terutama kaum miskin dan siapa pun yang menderita, adalah juga sukacita dan harapan, duka dan kecemasan para murid Kristus.” Gereja mengundang setiap insan untuk membaca tanda-tanda zaman dalam terang Injil, sebuah undangan hermeneutik untuk menafsir pengalaman manusia sebagai medan perjumpaan dengan Allah. Dokumen Verbum Domini 2010, art. 87 menegaskan bahwa sabda Allah tidak hanya hadir dalam Kitab Suci, tetapi juga “dalam kehidupan umat beriman yang diresapi oleh Roh Kudus.” Dengan demikian, menulis dan membaca ulang buku harian merupakan partisipasi dalam karya Roh yang menafsir sejarah manusia dalam terang Sabda.
Buku harian, dalam kerangka ini, dapat dipandang sebagai laboratorium hermeneutik dan teologis bagi kesadaran manusia. Melalui spiral prafigurasi–konfigurasi–refigurasi, penulis tidak hanya menafsir dirinya sendiri, tetapi juga menggumuli misteri kehadiran Allah yang menuntun sejarah hidupnya. Setiap catatan menjadi titik temu antara pengalaman manusiawi dan sabda ilahi yang menghidupkan. Buku harian mengungkap spiritualitas yang reflektif dan inkarnasional, praktik iman yang mengundang manusia untuk membaca, menulis, dan menafsir kehidupannya sebagai kisah keselamatan yang senantiasa diperbarui oleh kasih Tuhan. (KU)
Tag
Berita Terkait
LEBENSWELT TABUA: KOSMOLOGI KEBERSAMAAN ATONI PAH METO DALAM CERMIN FENOMENOLOGI ALFRED SCHUTZ
Tag
Arsip
Kue Pelangi Menakjubkan Terbaik
Final Piala Dunia 2022
Berita Populer & Terbaru
Jajak Pendapat Online