• Hari ini: December 02, 2025

KETIKA JARI KECIL MENYENTUH PINTU SUCI

02 December, 2025
107

KETIKA JARI KECIL MENYENTUH PINTU SUCI

Ziarah Porta Sancta SEKAMI Oelnitep

 

    Di Oelnitep yang perlahan bersemi bersama datangnya hujan pertama, Sabtu pagi, 29 November 2025, terasa bergerak lebih hidup dari hari-hari biasanya. Mentari yang baru muncul di balik perbukitan Timor menyingkap rona hijau muda di tanah yang sebelumnya gersang, seolah alam pun ikut bersyukur atas kehidupan yang kembali. Di halaman Kapela Santo Dominikus Oelnitep-Paroki Santo Yohanes Pemandi Naesleu, tawa dan seruan anak-anak SEKAMI berpadu menjadi irama sukacita yang memenuhi udara. Suara-suara polos itu bukan sekadar gema permainan melainkan denyut harapan Gereja yang tumbuh dari generasi kecil yang beriman dan penuh semangat misioner. Hadir pada kesempatan ini, Ketua Lingkungan Yohanes Fallo dan beberapa umat mempersiapkan perjalanan anak-anak ini.

    Lebih dari lima puluh anak hadir hari itu, ditemani dua puluh tiga pendamping, empat mahasiswa magang pastoral dari STP St. Petrus, serta sepuluh aspiran CM yang turut serta dalam ziarah Porta Sancta. Mereka tidak sekadar berjalan menapaki tanah yang lembab oleh hujan pertama tetapi melangkah dalam perjalanan iman yang mendalam. Setiap langkah mereka menuju Pintu Suci menjadi simbol keterbukaan hati terhadap rahmat Allah yang terus mengalir. Dalam perjalanan sederhana itu, tradisi Gereja yang sarat makna menemukan wujudnya kembali, menjadi kisah tentang iman yang tumbuh, harapan yang menetas dan kasih yang mengalir di antara tawa anak-anak dan doa yang terucap lirih.


Embun Pagi: Sebuah Pengajaran tentang Rahmat

    Menjelang pukul sembilan, suasana di halaman Kapela perlahan berubah. Riuh tawa anak-anak yang sejak pagi memenuhi udara mulai mereda ketika mereka diarahkan masuk ke ruang doa. Kapela Santo Dominikus mendadak berwarna: putih-hitam seragam yang kontras berpadu dengan selendang di leher, menambah semarak wajah-wajah mungil yang bersinar oleh rasa ingin tahu. Di hadapan mereka berdiri Sr. Wilhelmina Mau Lalu, CM, sosok yang menampilkan perpaduan sempurna antara kelembutan dan wibawa. Setiap sapaan dan gerakannya memancarkan kasih yang mendidik, menghadirkan ketenangan yang mengundang perhatian.


    Dengan suara tenang namun penuh kuasa rohani, Sr. Wilhelmina mulai menuturkan makna Porta Sancta yaitu Pintu Suci yang dibuka oleh Gereja dalam masa-masa khusus agar umat berziarah kepada sumber rahmat dan pengampunan. Ia berbicara bukan sekadar dengan kata-kata melainkan dengan ketulusan hati yang memancar dari pandangannya. Tentang kasih yang memulihkan luka batin, tentang keberanian untuk memperbarui hidup dan tentang kesempatan yang tak pernah tertutup untuk kembali melangkah di jalan iman. Pengajaran itu mengalir lembut namun mengakar dalam, menyentuh ruang batin setiap pendengar yang masih belia.

    “Ketika seseorang melewati Porta Sancta,” ujarnya lembut, “ia diajak mengingat bahwa Kristuslah Pintu yang membuka jalan menuju kehidupan. Sebagaimana sabda-Nya, ‘Akulah pintu; barangsiapa masuk melalui Aku, ia akan selamat’ (Yoh 10:9).” Kalimat itu mengalun di antara barisan anak-anak yang duduk rapi, menumbuhkan keheningan yang penuh makna. Tatapan mereka yang berbinar menandakan rasa kagum dan keterpesonaan. Ziarah yang semula mereka anggap sekadar petualangan kini menjelma menjadi pengalaman rohani yang dalam, sebuah penemuan bahwa iman pun bisa tumbuh dari rasa ingin tahu yang polos dan tawa yang jujur.

    Pengajaran itu diakhiri dengan doa sederhana yang dipimpin oleh anak-anak sendiri dalam bahasa Inggris didampingi oleh Sr Wilhelmina yang sering disapa Sr. Mince. Suara mereka memang masih terbata, namun justru di situlah keindahannya, ketulusan yang murni, iman yang baru bertunas dan harapan yang mulai menyalakan terang kecil di dalam hati. Saat gema doa terakhir memudar, udara pagi di Kapela seolah dipenuhi aroma embun dan rahmat, tanda bahwa di tengah kesederhanaan, kasih Allah selalu menemukan cara untuk hadir dan menghidupkan.


Perjalanan Dimulai

    Usai doa bersama dan berkat yang penuh kasih dari Rm. Kristo Ukat, Pr, suasana pagi di Oelnitep dipenuhi rasa syukur dan sukacita. Sebuah sesi foto kecil menutup momen kebersamaan itu, menandai awal dari perjalanan rohani yang penuh makna. Tak lama kemudian, rombongan mulai bergerak perlahan meninggalkan halaman Kapela, lima mobil dan beberapa sepeda motor tersusun rapi, membentuk iring-iringan sederhana namun hangat, seperti satu keluarga besar yang tengah melangkah menuju sebuah perayaan iman.

    Sepanjang perjalanan menuju Kefamenanu, tawa dan sorak gembira anak-anak berpadu dengan deru mesin yang tenang, menghadirkan suasana penuh kehidupan. Di balik keceriaan itu mengalir semangat yang tulus, semangat yang seolah tak mengenal lelah. Setiap kilometer yang terlewati bukan sekadar jarak yang ditempuh melainkan jejak kecil dalam ziarah batin, langkah-langkah polos yang diarahkan oleh sukacita, menuju pengalaman rohani yang lebih dalam dan membahagiakan.


Sentuhan Pertama pada Pintu Rahmat

    Sesampainya di Gereja Santa Theresia Kefamenanu, rombongan itu segera menata diri dalam barisan dua-dua yang rapi. Anak-anak berdiri tegak, didampingi para pendamping yang menjaga langkah mereka dengan kelembutan penuh kasih. Tidak ada yang tergesa-gesa, suasana berubah khidmat, seolah waktu melambat mengikuti irama doa yang terucap di dalam hati. Setiap langkah menjadi ungkapan iman, sebuah gerak sederhana namun sarat makna, langkah-langkah kecil yang membawa mereka mendekat bukan hanya ke altar melainkan kepada perjumpaan yang lebih dalam dengan Tuhan. Dalam diam yang syahdu, perarakan itu menjelma menjadi liturgi kehidupan, tempat kesucian bertemu dengan kepolosan.


    Ketika jari-jari mungil itu menyentuh daun pintu gereja, Porta Sancta, Pintu Suci, seketika terasa sesuatu yang tak terucapkan. Tidak ada kata, hanya gerak sederhana yang melahirkan keharuan, sentuhan lembut yang menggema seperti doa diam di hadapan rahmat Ilahi. Para pendamping pun mengikuti dengan sikap penuh hormat, menyadari bahwa di balik kesunyian itu mengalir kerinduan umat kecil untuk merasakan kedekatan Allah. Di bawah cahaya lembut yang menyelinap dari jendela kaca gereja, momen itu terasa kudus, sebuah perjumpaan antara keheningan dan rahmat yang menyingkapkan kehadiran Tuhan yang begitu dekat.

    Dalam doa yang dipimpin oleh suster, kesunyian memenuhi seluruh ruang gereja. Anak-anak berdiri, duduk dan berlutut dengan penuh kesadaran rohani. Mereka mungkin belum sepenuhnya memahami makna teologis dari Porta Sancta namun hati mereka telah lebih dulu mengerti bahwa menyentuh pintu rahmat berarti membuka diri terhadap kasih Allah yang senantiasa menanti. Ketika doa berakhir, langkah mereka kembali berlanjut, ringan, tenang dan penuh daya. Seolah setiap detak langkah itu membawa serpihan keheningan suci yang baru saja mereka alami, menjadi bagian dari perjalanan iman yang terus tumbuh dalam diam dan syukur.


Gereja Santo Antonius Padua Sasi

    Dari Gereja Santa Theresia Kefamenanu, iring-iringan kecil itu melanjutkan perjalanan menuju Gereja Santo Antonius Padua Sasi. Saat mereka tiba, halaman gereja telah dipenuhi oleh ratusan peziarah dari berbagai tempat, menciptakan suasana yang hangat dan penuh semangat rohani. Anak-anak Oelnitep tampak larut dalam lautan umat, menyatu dalam harmoni iman yang hidup. Di tengah keramaian itu, tersingkap keindahan Gereja yang sejati, tubuh Kristus yang bergerak bersama, bersatu dalam satu irama kasih dan doa.

    Seperti sebelumnya, anak-anak kembali berbaris dua-dua, langkah mereka rapi dan penuh makna. Saat tangan-tangan kecil itu menyentuh Pintu Gereja, Porta Sancta, mereka melakukannya dengan kesadaran yang lebih dalam daripada sebelumnya. Bagi sebagian dari mereka, ini adalah pertama kalinya menyentuh pintu rumah Allah dengan hati yang sungguh sadar akan kehadiran-Nya. Bagi para pendamping, momen itu menjadi pengingat yang lembut bahwa iman sejati tidak diwariskan lewat kata-kata semata melainkan melalui teladan dan kebersamaan yang penuh kasih.

    Doa di dalam gereja berlangsung dalam keheningan yang penuh hormat, lalu dilanjutkan di hadapan Patung Bunda Maria di halaman. Di bawah langit yang teduh, anak-anak menundukkan kepala dan berdoa dengan kata-kata sederhana namun tulus dari hati. Ada yang memohon perlindungan, ada yang meminta kekuatan dan mungkin ada yang berdoa untuk nilai baik dalam ujian sekolah. Semua terucap dalam kesederhanaan iman seorang anak, iman yang jernih, polos dan indah dalam ketulusannya seperti bunga kecil yang mekar di taman rahmat Tuhan.


Makan Siang Bersama dan Persaudaraan

    Perjalanan ziarah berlanjut menuju Biara CM di Noemeto, tempat suasana gembira mencapai puncaknya. Di bawah naungan pohon dan udara siang yang teduh, anak-anak membuka tas masing-masing, mengeluarkan nasi bungkus sederhana, kue kecil dan buah-buahan yang dibawa dari rumah. Para suster melengkapi santapan itu dengan hidangan hangat, menghadirkan suasana makan siang yang berubah menjadi pesta sederhana penuh sukacita. Bukan kemewahan yang membuat momen itu berharga melainkan keakraban yang mengalir di antara tawa dan rasa syukur yang tulus.

    Di halaman biara, tawa anak-anak bergema bersama cerita dan permainan kecil yang spontan. Setelah tenaga kembali pulih, mereka bernyanyi, menari dan bertepuk tangan bersama dipandu oleh Sr. Mince serta para aspiran dan novis CM. Kegembiraan hari itu semakin lengkap ketika anak-anak SEKAMI Oelnitep bertemu dengan rekan-rekan mereka dari Lingkungan St. Yosef Frainadementz. Suasana yang tercipta begitu hangat, seolah paduan suara para malaikat ikut menyanyikan lagu persaudaraan. Tidak ada batas antara anak-anak dan para pendamping, semua menyatu dalam kegembiraan iman. Seperti sabda Mazmur mengingatkan, “Lihatlah, betapa indah dan manisnya apabila saudara-saudara diam bersama dengan rukun” (Mzm 133:1).

    Sesi SEKAMI setelah makan siang menambah semarak perjumpaan itu. Lagu-lagu riang menggema di udara, tangan-tangan kecil bergerak serempak mengikuti irama, sementara cerita singkat dan permainan rohani menyatukan hati mereka dalam sukacita yang murni. Di tengah keceriaan itu, tampaklah wajah Gereja yang hidup, Gereja yang bertumbuh dalam kebersamaan, yang sederhana namun sarat makna, tempat setiap tawa menjadi pujian dan setiap perjumpaan menjadi berkat.


Menutup Hari, Membuka Hati

    Sore perlahan menurunkan cahayanya ketika rombongan bersiap meninggalkan Biara CM dan kembali ke Oelnitep. Lambaian tangan para suster bertemu lambaian tangan para peziarah cilik bersama pendamping dari Oelnitep. Sayonara. Langit barat menyala lembut, seolah turut memberkati perjalanan pulang mereka. Di balik wajah-wajah kecil yang lelah tersimpan cahaya yang berbeda, cahaya yang lahir dari sukacita batin. Mereka tidak hanya pulang membawa kenangan tentang tempat dan peristiwa, tetapi juga hati yang lebih lapang, lebih mengerti dan lebih peka akan kehadiran Allah yang selalu berjalan bersama mereka, bahkan dalam kesederhanaan hari-hari biasa.

    Ziarah Porta Sancta ternyata bukan sekadar tentang menempuh jarak melainkan tentang menemukan kedalaman. Di balik langkah-langkah kecil itu tersimpan pengalaman rohani yang menumbuhkan iman dan cinta. Seperti pintu suci yang mereka sentuh, jiwa mereka pun perlahan terbuka, menerima rahmat Tuhan yang mengalir lembut, menyembuhkan dan memperbarui. Hari itu mengajarkan bahwa rahmat bukan sesuatu yang jauh atau agung semata tetapi hadir di antara tawa, doa dan kebersamaan yang tulus.

    Dan mungkin, saat jari-jari mungil itu menyentuh Pintu Rahmat, sesungguhnya bukan hanya kayu dan logam yang mereka sentuh, melainkan ruang terdalam dalam hati mereka sendiri. Sentuhan itu mengingatkan kita semua bahwa perjalanan iman selalu dimulai dari kesediaan untuk membuka diri untuk melangkah dalam kerendahan hati dan untuk menemukan Tuhan di setiap langkah kehidupan. Sebab setiap pintu yang terbuka dalam iman bukan hanya mengarah pada rumah Allah tetapi juga mengantar hati manusia menuju kasih yang tak bertepi. (KU)